-->

Banau: Pejuang Yang Diabaikan

Editor: Irfan Ahmad author photo

Makam Banau di Jailolo.

Banau Bin Alum Bin Abdulgani atau Baba Saleh adalah anak dari  Alum (ayah) dan Sahari (Ibu). Tidak ditemukan pada sumber tertulis bahwa pada tahun berapa Banau dilahirkan di Tuada. Akan tetatapi, beberapa keterangan lisan menyebutkan bahwa pada saat Banau memimpin "Perang Jailolo 1914",  berumur 35 tahun. Jika benar demikian, berarti Banau lahir pada tahun ± 1879 Masehi.

Semasa kecil Banau sering mengikuti ayahnya menokok pohon sagu dan menangkap ikan di laut untuk kebutuhan hidup mereka. Banau juga tidak terlalu diketahui orang, karena ia seorang anak petani dan hidup di antara ratusan anak petani Jailolo lainnya. Banau, seorang anak Jailolo yang bernasib sama dengan ratusan anak dari pulau Halmahera yang hidup dalam kekurangan karena, sejak lama masyarakat Halmahera berada dalam cengkraman kolonialisme Belanda. (Sunarti, 2007).

Semasa anak-anak, Banau telah menyaksikan  masyarakat Jailolo bekerja keras untuk hidup, kerja rodi untuk Belanda dan wajib pajak yang begitu besar yang diterapkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Kebencian terhadap orang Belanda telah tertanam sejak kecil karena melihat ketidak adailah yang terjadi pada masyarakat, apalagi pihak Kesultanan Ternate yang tidak dapat berbuat banyak hal. Itulah kenapa Dano Baba Hasan (1875-1876) juga melakukan perlawanan terhadap pemerintah Kolonial Belanda (Clercq,  F.S.A. de. 1890) empat tahun setelah Banau di lahirkan. 

Setelah remaja Banau menikahi seorang gadis bernama Adawia yang berasal dari Tuada. Mereka memiliki seorang putra, bernama Sulaiman. Setelah anaknya berumur enam bulan, Banau pergi ke Teluk Kao atas saran ayahnya karena mendengar kabar bahwa seorang pejuang dari Aceh berada di Halmahera yang tegas menentang kolonial Belanda. Banau kemudian pergi ke Teluk Kao dimana Tengku Idris berdomesili. 

Selama Banau di Teluk Kao, ia juga terlibat dalam pertemuan-pertemuan hingga terjadinya Perang Kao 1908. Perang Kao yang terjadi pada tahun 1908 adalah bentuk protes masyarakat Teluk Kao terhadap Pemerintah Kolonial Belanda atas penarikan pajak dan upeti yang besar. Dalam Perang Kao banyak masyarakat yang gugur dalam perang, bahkan para kapita sebanyak tujuh orang yang memimpin pasukan tewas di tembak oleh serdadu Belanda dan di makamkan bersama dalam satu liang tujuh orang. bersama dengan Tengku Idris belaknag Tengku Idris dikenal dengan nama Raja Bingkas dan menjadi guru atau panutan oleh BanauKedatangan Tengku Idris di Teluk Kao, dampak dari perang Aceh tahun 1873-1904. Selama berada di Teluk Kao Tengku Idris juga mengunjungi pulau Halmahera lainnya untuk berikan pencerahan serta semangat untuk terus melakukan perang terhadap Pemerintah Kolonial Belanda yang menjarah hasil kekayaan di Halmahera dan pada umumnya di Maluku Utara (Anonim, 1914).

Keberadaan Banau di Teluk Kao dengan satu niat yaitu belajar menyusun stategi perang dan mengajak masyarakat untuk terus menentang Pemerintah Kolonial Belanda selama itu merugikan bagi mereka. Selama mengikuti Tengku Idris, Banau mendapatkan sebuah rencong (keris) dan bendera merah-putih berukuran kecil yang dijahit pada kopiah (peci) sebagai bentuk perlawanan pada Belanda dan simbol bagi kelompok mereka di Halmahera. 

Setelah mendapat keris dan tanda perlawanan (simbol merah-putih) serta dibekali pengetahuan berperang, Banau kemudian ditugaskan untuk mengelilinggi pulau Halmahera (Tobelo, Galela, Loloda, Wasilesi dan Jailolo) untuk mengajak masyarakat agar tidak takut pada Pemerintah Hindia Belanda dan menolak menyerahkan upeti, pajak dan menolak segala bentuk penindasan yang dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda  dalam bentuk apapun.

Selama berada di Halmahera, Banau terus menyuarakan anti Belanda dan memberikan motivasi untuk terus berjuang. Setelah kembalinya Banau ke Teluk Kao dari daerah yang ia kunjungi. Seorang pemuda Jailolo menyampikan pesan  kepada Banau bahwa ayahnya berpesan agar kembali ke Jailolo, Tuada untuk menengok istri dan anaknya yang telah lama ia ditinggalkan. Keberadaan Banau di Tuada, ia selalu aktif komunikasi dengan masyarakat Jailolo karena kepedulian terhadap nasib orang banyak dan tidak takut dengan aturan-aturan yang ditetapkan oleh Pemerintah Hindia Belanda, dengan demikian simpati yang datang pada Banaubukan saja berasal dari kalangan agama Islam yang berada di Jailolo melainkan orang Alfur penganut agama lokal pun menyukai sikap Banau (Irfan, 2014).

Banau Menentang Penjajah
Hutan belantara di pulau Halmahera mulai mendapat perhatian serius untuk menghubungkan akses jalan raya oleh para Pemerintah Hindia Belanda untuk mendukung program politi etis (Wertheim, 1999:70). Jika sebelumnya sarana transportasi darat hanya dikenal di wilayah Dodinga ke Bobane Igo demi kepentingan militer dan mobilisasi geografis dari pantai  barat ke  pantai  timur  Halmahera,  menjelang  abad  XX  berbagai  jalan  mulai  dibuat. Beberapa  jalan  setapak  kian  permanen  karena  frekuensi  dan  intensitasnya  sebagai jalur  transportasi  bagi  masyarakat  yang  bermukim  di  ladang  atau  komunitas  kecil pemukiman yang terletak di tepi pantai (Baretta, 1917). 

Di Halmahera dalam rencana pembuatan dan penataan jalan. Dibuat sebuah jalan  induk  yang  membentang  dari  wilayah  Jailolo  ke  arah  utara  melalui  lembah Ake  Lamo,  Sahu,  Kao  menuju  Tobelo  dan  Galela.  Dari  jalan  induk  ini  telah disiapkan  juga  jalan  menuju  wilayah  Barat  yaitu  Sosupu,  dan  Ibu,  menuju  ke wilayah Utara yaitu Kao, Tobelo, dan Galela (James, 1997). Sementara untuk wilayah Jailolo, pada 1913 pemerintah Kolonial Belanda membuat jalan dari pesisir menuju pedalaman di Sahu. 

Pekerjaan membuat jalan ini dibebankan kepada penduduk pribumi untuk kerja rodi dan  tertekan denganbesarnya pajak yang harus di bayar kepada Pemerintah Kolonial Belanda (Lembaran Negara, Nomor 130/1914). Selain itu, pembuatan pos jaga yang diberlakukan di Jailolo meyebabkan perekrutan dan penerapan kerja wajib semakin meningkat oleh Pemerintah Kolonial Belanda menyebabkan kemarahan masyarakat. 

Pada 1914 kemarahan semakin memuncak dengan kedatangan seorang Controleur G. K . B . Agerbeek di tempatkan di Jailolo. Banyak peraturan baru dari Residen yang harus diumunkan serta dijalankan oleh Controleur yang baru. Beberapa kepala kampung yang beragama Islam diberhentikan dan digantikan dengan kepala kampung yang berasal dari suku asli. Suda tentu mereka yang berasal dari suku ali ini bukan beragama Islam, melainkan masi beragama suku/agama lokal. Dengan asumsi bahwa orang belum beragama lebih loyal kepada belanda ketimbang masyarakat yang telah beragama. Pekerjaan Controleur Agerbeek kurang mendapat sambutan baik dari masyarakat Jailolo (Magani, 2012).

Selama keberadaan Banau di Tuada pada 1912 untuk mengunjungi keluarganya, ia tidak kembali lagi ke Teluk Kao, karena Pemerintah Kolonial Belanda dengan ketat mencari masyarakat yang terlibat dalam Perang Kao untuk diberikan sangsi atau hukuman. Pada tahun 1912-1914, Banau selalu ditemui dan mengunjungi masyarakat Jailolo untuk mengajak bersama-sama menentang Pemerintah Kolonial Belanda. 

Apa yang dilakukan oleh Agerbeek diketahui oleh Banau. Ia bersama masyarakat yang terdiri dari Tuada dan Todowongi Tobaru (bukan Todowongi Ternate) membuat pertemuan pada tanggal 10 September 1914 dengan maksud membicarakan penolakan pemberian pajak dan kerja rodi oleh Pemerintah Kolonial Belanda yang dianggap merugikan bagi masyarakat. Banau bahkan berkata “orang Belanda tidak berhak untuk melakukan penarikan pajak kepada masyarakat”. Ia pun mengajak untuk melakukan pertemuan untuk bicarakan persoalan penarikan pajak di Jailolo.

Pertemuanpun dilakaukan oleh sekelompok masyarakat yang menolak adanya pungutan pajak oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Pada pertemuan tersebut, dengan semangat yang berapi-api Banau suarakan“afa fonyiha mote mancia walanda, coba ua ngone ana golaha susa lebe laha fosone wange ne afa sado ngone fo susa sado ngofa se dano”. Artinya, “jangan mau di jajah oleh Belanda, jika kita terus di jajah sama Belanda lebih baik mati hari ini dari pada susah sampai anak cucu kita”.     

Pada pertemuan tersebut, sekelopok masyarakat itu pun menyepakati bahwa Banau harus memimpin pasukan untuk perlawanan yang akan dilakukan pada tanggal 12 September 1914 atau dikenal dengan “Perang Jailolo 1914”. Banau dipilih untuk memimpin dengan  pertimbangan bahwa Banau punya semangat untuk menentang kepada orang Belanda, sangat berpengalaman menyusun strategi perang, punya pengalaman dalam PerangKao, berilmu dan memiliki jiwa kesatria. Sebagai pemimpin Perang Jailolo, Banau didampinggi oleh empat kapita yaitu kapita Madi, kapita Togo, kapita Adam Lamo.  


Dua hari setelah pertemuan di Tuada, tepatnya tanggal, 12 September 1914.  Sejumlah 80 orang laki-laki berasal dari Tuada dan Todowongi yang dipersenjatai tombak dan parang mendatangi pos jaga dan menyerang serdadu Belanda dan Controleur Agerbeek. Alhasil dalam penyerangan itu 3 orang serdadu Belanda, Controleur Agerbeek tewas terbunuh dan seorang pengawas jalan mengalami luka yang amat serius. Sementara, seorang pengawas jalan sempat melarikan diri dengan perahu milik Pemerintah Belanda tiba diTernate dan menyampaikan berita perlawanan yang dilakukan sekelompok orang di Jailolo. (Kolonial Verslag , 1915).
Salah Satu Koran Belanda yang mengulas tentang peristiwa  di Jailolo, 1944. 

Sekitar 2 ½ jam, pengawas jalan yang melarikan diri, tiba di Ternate dan menyampaikan berita tersebut kepada Residen. Berita tentang kematian Controleur Agerbeek, serdadu dan pengawas jalan, membuat Residen Palmer  van  den  Broek marah dan mengarahkan pasukan infantri satu brigade yang berjumlah 40 orang yang dipimpin oleh seorang Letnan Ouwerling dan polisi yang dipersenjatai untuk berangkat dan tiba di Pelabuhan Jailolo pada jam 1:30 (siang). Keesokan harinya, tanggal 13 September 1914, sekelompok orang yang berasal dari Tuada dan Todowongi, menyerang brigade infantri yang dipimpin oleh  Letnan Ouwerling. Penyerangan yang terjadi, mengakibatkan 4 orang dari Jailolo, mati tertembak dan meninggalkan 2 senapan, sementara dari pihak Kolonial Belanda terdapat satu orang tewas terbunuh dan 3 orang mengalami luka-luka. Keesokan harinya tanggal 14 September 1914, Letnan Ouwerling memimpin pasukan berangkat ke kampung Porniti dan kembali perlawanan dilakukan. Peperangan yang terjadi di kampung Porniti tersebut, Letnan Ouwerling mengalami luka parah bersama seorang sersan dan tak lama kemudian Letnan Ouwerling meninggal dunia dan pasukan infantri milik Kolonial Belanda di pukul mundur. (Indische Gids, 52. 1930).

Dalam melakukan pencarian pelaku perlawanan serta pembunuhan di Jailolo, Pemerintah Belanda mengalami banyak hambatan dan berakhir dengan sia-sia. Meskipun di Halmahera telah diturunkan 2 brigade militer yang dipimpin oleh letnan kolonel.  Masyarakat yang dicurigai menegatahui keberadaan Banau ditangkap dan mendapat perlakuan yang tidak adil, bahkan beberapa orang dibunuh dengan kejam di Pulau Hiri. Sultan Ternate, Muhammad  Usman Syah juga dicurigai terlibat dalam “Perang Jailolo”. Dua kali diinterogasi, penghasilan Sultan Ternate sebesar f. 45.000,- tidak lagi diterima dan diasingkan ke Bacan. (Ibid.,581).

Mendengar kabar bahwa Sultan telah diasingkan dan masyarakat  mendapat perlakukan yang kasar oleh Belanda. Banau akhirnya meneyarakna diri dan mendapat hukuman mati di atas tiang gantungan. Meskipun telah mendapat pelaku utama “Perang Jailolo 1914”, Pemreintah Kolonial Belanda juga mengasinkan sultan Muhammad  Usman Syah ke Bandung bersama keluarganya dengan alasan terlibat dalam “perang Jailolo”.


Setelah kekosongan Sultan Ternate pada 1915, Pemerintah Kesultanan Ternate diubah status menjadi Pemerintahan Swatantra atas desain Pemerintah Belanda dan mendapat kontrol penuh atas jalannya roda pemerintahan. Semasa Pemerintahan Swatantra, kondisi politik yang tidak stabil menyebabkan banyak kurupsi terjadi di Ternate.
Nama Banau yang terdapat pada logo Batalyon Infanteri (YONIF) 732/Banau, Jailolo. 

Sosok Banau saat ini, diabadikan namanya di Sekolah Menengah Pertama Nasional Banau, Ternate; Akademik Sekolah Tinggi Pertanian Kewirausahaan Banau, Jailolo; Batalyon Infanteri Raider Khussus 732/Banau, Jailolo; Taman Makam Pahlawan Banau, Ternate; Aula Banau Universitas Khairun dan beberapa nama jalan di Kota Ternate dan Halmahera. Semua itu untuk mengabadikan dan mengenang perjuangan Banau untuk daerah maupun negara. Sayangnya sejauh ini sosok seorang Banau, meskipun telah dikenal luas, belum ada biografi yang menjadi rujukan secara resmi untuk masyarakat, akademisi maupun pemerintah. Bahkan Banau sampai saat ini pun belum mendapat pengakuan oleh Negara Republik Indonesia sebagai Pahlawan Nasional.
Share:
Komentar

Terkini