-->

Sejarah Nelayan Tomalou

Editor: Irfan Ahmad author photo
Aktivitas nelayan Tomalou di laut. Foto: Abdullah Dahlan
Boleh dikatakan tulisan ini lahir karena ada gagasan Festival Kampung Nelayan Tomalou (FKNT) 2020. Saya beruntung karena dilibatkan oleh panitia sebagai salah satu pemantik untuk berbagai cerita bersama masyarakat Tomalou nantinya. 

Maluku Utara hingga kini lebih banyak menitik beratkan pada peristiwa yang terjadi di daratan, sedangkan peristiwa yang berkaitan dengan kemaritiman masih kurang, walupun  Maluku Utara adalah wialayah maritim yang terdiri dari pulau-pulau yang dihuni oleh masyarakat nelayan. Meskipun kenyataannya bahwa masyarakat yang tinggal di pantai semata-mata bukan hanya dihuni oleh orang yang bermata pencaharian sebagai nelayan saja, akan tetapi juga ada orang-orang yang bergerak disektor pertania, wirausaha, pegawai negeri sipil dan sebagainya.

Kampung Nelayan Tomalou merupakan suatu permukiman yang berada di daerah pesisir dan sejak turun-temurun melestarikan pekerjaan dari leluhur mereka. Nelayan Tomalou berbeda dengan nelayan lainnya di Maluku Utara yang konsisten dengan pekerjaan tersebut meskipun dapat dikatakan bahwa anak-cucu para nelayan banyak yang telah sukses dan dapat membuka lapangan kerja baru. Lantas kenapa mereka masih terus bertahan dengan pekerjaan nelayan dengan kondisi laut yang mulai tercemar, minyak dan alat tangkap yang begitu mahal, serta tempat menangkap ikan yang kian jauh. Ternya beberapa keterangan lisan disebutkan bahwa menjadi nelayan adalah pekerjaan mulia dan akan tetap berlangsung. 

Nelayan Tomalou dalam sejarah
Orang Tomalou meyakini bahwa pekerjaan mangael/menangkap ikan telah berlangsung sejak Kolano Syahjati alias Muhammad Naqil bin Jaffar Assidiq berkuasa dan menetapkan orang Tomalou sebagai nelayan nyao delo atau ikan cakalang (Katsuwonus pelamis). Dikisahkan bahwa “pada suatu saat ketika masyarakat Tomalou melaksanakan ritual Salai Jin, datang seorang pemuda perkasa dari arah laut yang belakangan diketahui sebagai Raja Delo. Pemuda itupun dipersilahkan masuk dan melibatkan diri dalam prosesi ritual salai jin dan sempat membawakan pandara (nyanyian tradisional orang Tidore). 

Singkat cerita, seorang pemuda sedang mau mangael menemukan “sarung” Raja Delo. Karena tidak tahu, pemuda tersebut mengambil dan menyimpan “sarung” tersebut di rumah. Menjelang fajar, Raja Delo tergesah-gesah berlari ke pantai untuk kembali ke alamnya di laut. Setibanya di tempat persembunyian “sarung”, ia terkejut karena “sarungnya” telah hilang dan tidak dapat kembali ke laut. Raja Delo-pun menangis dan memohon kepada tetua kampung bahwa bila “sarungnya” dikembalikan, maka sebagai imbalan Raja Delo akan mengajarkan bagaimana cara menangkap ikan khususnya ikan delo" (Arsip, Yusup Abdullah).

Nelayan Tidore di Galela, 1910 (Orchard, 2001)
Terlepas dari mitologi di atas. Sumber-sumber kolonial mencatat bahwa kelompok masyarakat yang dianggap penting dalam penangkapan ikan adalah penduduk Tidore terutama orang Tomalou dan Mareku (Kuneman, 1882;313). Oleh Coolhaas, (1926;426) Pada aba XVII banyak di antara penduduk Tidore menyebar ke berbagai penjuru Karesidenan Ternate, terutama masyarakat Tomalou. Mereka pergi melaut secara berkelompok dalam satu ikatan keluarga, seluruh anggota kelompok adalah kaum pria. Umumnya mereka melakukan migrasi musiman yang menyesuaikan dengan musim dan lokasi pasi penangkapan, dan akan kembali ke Pulau Tidore untuk berkumpul bersama keluarga mereka ketika hasil tangkapan sudah berlimpah dan cukup untuk kembali.

Nelayan Tidore di Taliabu 1917 (Hustijn, 1918)
Orang Tomalou adalah nelayan yang profesional sejak dahulu dan diakui oleh pemerintah Belanda pada saat pendataan dilakukan. Selain mengunakan hohate, nelayan Tomalou juga mengunakan jaring jenis giop. Jenis jaring ini memiliki ukuran yang besar sekitar 100-150 depa dengan harga kurang lebih f. 200- f. 600, tergantung jenis dan ukurannya. Selain itu ada juga jaring yang berukuran kecil yakni jaring buang jala lempar dimanfaatkan oleh sebagian kecil masyarakat untuk penangkapan ikan di dekat pantai. 

Belum diketahui secara pasti keberadaan jaring giop yang digunakan oleh orang Tidore. Tetapi Kuneman melaporkan bahwa, sejak tahun 1882 atau jauh sebelumnya, jenis jaring ini telah digunakan oleh nelayan di pantai barat Pulau Tidore, Tomalou, Mareku dan nelayan Hila di Ambon. Mereka merupakan kelompok nelayan profisional khusus penangkapan ikan julung (ibid).

Orang Tomalou adalah nelayan yang profesional sejak dahulu dan diakui oleh pemerintah Belanda pada saat pendataan dilakukan. Selain mengunakan hohate, nelayan Tomalou juga mengunakan jaring jenis giop. Jenis jaring ini memiliki ukuran yang besar sekitar 100-150 depa dengan harga kurang lebih f. 200- f. 600, tergantung jenis dan ukurannya. Selain itu ada juga jaring yang berukuran kecil yakni jaring buang jala lempar dimanfaatkan oleh sebagian kecil masyarakat untuk penangkapan ikan di dekat pantai. 

Belum diketahui secara pasti keberadaan jaring giop yang digunakan oleh orang Tidore. Tetapi Kuneman melaporkan bahwa, sejak tahun 1882 atau jauh sebelumnya, jenis jaring ini telah digunakan oleh nelayan di pantai barat Pulau Tidore, Tomalou, Mareku dan nelayan Hila di Ambon. Mereka merupakan kelompok nelayan profisional khusus penangkapan ikan julung (ibid).

Dari berbagai laporan menjelaskan bahwa sejak akhir abad XVIII masyarakat nelayan, khusunya Tomalou, dan Mareku di Tidore dikenal sebagai produsen dan pemasok ikan julung dan cakalang terbesar di Karesidenan Ternate, dan bahkan mampu menerobos pasar ekspor. Kondisi ini tidak terlepas dari semakin luasnya penjualan jaring impor secara bebas atau masyarakat yang membuat sendiri dengan memanfaatkan bahan baku impor terutama benang yang mudah diperoleh dari pedagang keliling, sehingga mendorong para nelayan untuk berlomba-lomba meningkatkan sarana penangkapan mereka (Koloniaal Verslag, 1895). 

Akan tetapi hal yang menarik bagi nelayan Tomalou yang tidak dapat dijumpai oleh nelayan manapun (saat itu) adalah menangkap ikan mengunakan alat pancing hohate. De Clercq (1890: 44) menjelaskan bahwa pada 1890 reputasi orang Tomalou lebih mahir dalam penangkapan ikan cakalang dengan menggunakan tangkai pancing hohate dan umpan nonai gosao dalam kondisi hidup. 
Share:
Komentar

Terkini