![]() |
Peta: Tomalooe Tahun 1916 |
Toponimi dalam sejarah dapat dimaknai sebagai pengetahuan tentang asal-usul nama temapt. Toponimi pernah menjadi pembahasan strategi terkait kedaulatan negara dalam sidang Perserikatan Bangsa-bangsa di New York, Amerika Serikat.
Dari perspektif sejarah, Tomalou adalah nama khas kampung nelayan. Penamaan kampung-kampung di pulau Tidore terkait erat dengan sejarah Tidore. Sebab itu, penulisan toponimi sejarah Tomalou dapat diartikan sebagai penulisan sejarah asal-usul kampung yang berkaitan dengan wilayah, tokoh, serta riwayat kerajaan.
Sejarah kampung perlu ditulis karena ada ungkapan “sejarah kecil terabaikan hilang identitas suatu wilayah”. Oleh karena itu, sejarah lokal, pengetahuan lokal dan kearifan lokal yang masih tersimpan harus ditulis agar dibaca dan dikatahui generasi Tomalou ke depan.
Menurut beberapa sumber, secara etimologis, tomalou terbentuk dari dua kata, toma dan lou. Toma adalah kata depan atau preposisi dalam bahasa Tidore—dan sejumlah bahasa non-Austronesia lainnya di Maluku Utara—yang mencangkup pengertian ‘di/ke/dar’ sedangkan lou yaitu ‘bambu’. Tomalou dapat diartikan “tempat bertumbuhnya rumpun bambu”. Alkisah, pada zaman dahulu di Tomalou banyak ditumbuhi pohon bambujenis tertentu yang berbeda dengan jenis bambu umumnya. Meski begitu, ada sumber lisan mengatakan banwa bambu yang dimaksud adalah bambu yang dipakai sebagai menanak “nasi bambu” (Yusup Abdullah). Tomalou dapat juga diartikan sebagai temapat ‘aktivitas nelayan yang mengunakan huhate dan igi sebagai alat tangkap secara tradisional.
Nama Tomalou terkait erat dengan sejarah politik pemerintahan kesultanan Tidore di masa lalu. Dari sisi sejarah politik kesultanan di masa lalu, masyarakat Tomalou merupakan salah satu kampung (soa, gam) yang penduduknya mengabdi kepada kekuasaan kesultanan Tidore. Salah satu tradisi (atoran) yang ditetapkan oleh kesultanan Tidore di masa lalu adalah ketentuan tentang pemberian ngasi (Karman, 2013:96).
Sultan berhak menentukan bentik-bentuk ngasi yang diserahkan oleh rakyat kepadanya. Kebutuhan sultan terhadap ikan dipenuhi oleh rakyatnya dari wilayah pesisir barat di pulau Tidore yang mencangkup Tomalou dan Mareku. Kelompok masyarakat nelayan di Tidore ini dikenal sebagai nelayan penangkap ikan (mangael) tangguh. Mereka menjalajahi wilayah-wilayah laut di kepulauan Maluku (Kuneman, 1882; Rajab, 2011).
Beberapa tetua Tomalou meyakini bahwa orang Tomalou terdiri dari delapan klan. Klan Tomakoa dan Gamsoro adalah “tuan tanah,” sedangkan klan Marsaoli, Sero-Sero, Konoras, Wahdania, Banjar, dan Tahuisasebagai “pendatang” (komunikasi pribadi Taslim Marsaoly, 2019). Dikisahkan bahwa dahulu terdapat kelompok sosial hidup di lereng gunung, toma koa ‘di lereng’. Karena hidup di lereng, maka klan ini Tomakoa.Kelompok sosial tersebut sama seperti kelompok sosial lainnya di Tidore.
Nani Jafar (55) berpendapat bahwa masyarakat Tidore membentuk kelompok-kelompok sosial dan hidup berpencar di pedalaman Kie Doku. kelompok sosial yang kecil disebut soa yang terdiri dari 7-9 kepala Keluarga. setiap soa memiliki kepemimpinan tradisional yang disebut fomanyira. Setiap fomanyira dan warga yang terhimpun dalam satu soa memiliki pimpinan spiritual yang disebut sowohi. Setiap sowohi memiliki rumah spiritual yang dinamakan limau.
Fomanyira adalah pemimpin tradisional (alam nyata) dan sowohi adalah pemimpin spitual (alam gaib).Fomanyira adalah penentu, tempat meminta saran atau petunjuk dalam menghadapi masalah, dan menjadi tokoh pelindung. Jika terjadi konflik antar—soa atau antarklan, maka kepala soa-lah yang bertanggungjawab untuk menyelesaikan masalah (Melalatoa, 1995:838).
Gimalaha Taslim Marsaoly (66) mengatakan, dahulu pemukiman masyarakat Tidore terpusat di dataran tinggi,gam tina. Sebab itu, seperti juga klan Tomakoa, kelompok sosial ini disebut klan Gamtina. Tidak diketahui berapa lama mereka mendiami lereng gunung dan daratan tinggi. Akan tetapi, ada cerita tentang masyarakat Tomalou sebagai berikut.
“Suatu ketika, soa Tomakoa mendengar suara keramaian di bagian pesisir. Fomanyira Tomakoa pun memerintah agar seseorang pergi ke pesisir untuk mencari tahu apa yang terjadi di pesisir. Seorang lelaki bergegas pergi ke pesisir dengan cara terbang. Peristiwa tersebut melahirkan kelompok sosial yang dinamakan Gamsoro.
Konon setelah lelaki tersebut tiba di pesisir, ia menemukan gamsung ‘kampung baru’yang dihuni oleh soa Marsaoli, Sero-Sero, Konoras, Wahdania, Banjar, dan soa Tahuisa. Setelah menegtahui ada kampung di pesisir soa Tomakoa dan Gamsoro kemudian turun dan hidup berdampingan dengan enam soa lainnya.
Meskipun Tomakoa dan Gamsoro telah turun ke pesisir, kedua soa tersebut masih mengetahui Gamtina, kampung tua mereka yang ditandai dengan adanya limau. Nani Djafar (55) menyebut, dahulu setiap soa terdapat memiliki limau sebagai rumah ritual yang dipimpin oleh sowohi. Di limau inilah pusat berlangsungnya ritual.
Dalam Schetskaart van de eilanden Tidore en Maitara, sampai tahun 1916 pemerintah kolonial Belanda mencatat orang Tomalou mendiami kawasan yang dinamakan Tomalooe Taoeisa dan Gam Some yang aktivitasnya sebagai nelayan (Digital Collection Leiden University, KK 150-03-09).
Menulis Sejarah Kampung
Belum diketahui secara pasti kapan orang Tomalou mendiami kawasan tersebut. Andaya (1993;216) mengatakan, pada 1765 sebanyak 146 orang dari Tomalou dipimpin oleh Imam dan dua khatib pergi ke Jailolo dan berniat melangsungkan prosesi adat pengangkatan sultan Jailolo yang baru dan mencari dukungan kepada orang Alfur di pedalaman Jailolo. Akan tetapi, niat baik ini ditolak Belanda.
Terlepas dari penolakan tersebut, jelas bahwa masyarakat Tomalou adalah bagian dari bangsawan Kesultanan Jailolo. Ada juga yang berasal dari Ibu (Halmahera), Kalimantan, dan Banda Aceh. Keragaman asal orang-orang ini menunjukkan bahwa masyarakat Tomalou memang sangat terbuka dan menerima siapa saja yang ingin hidup berdampingan. Sayangnya sejauh ini, kampung yang unik, memiliki nilai sejarah tinggi,dan masih melestarikan budaya bahari ini belum banyak diketahui masyarakat.
Karena itu, “Festival Kampung Nelayan Tomalou” yang akan dihelat Februari nanti mengagendakan Workshop Sejarah Kampong Tomalou. Tentu ini kesempatan yang sangat berharga untuk berdiskusi, saling berbagi, dan mencatat tradisi-tradisi tutur dari berbagai sudut pandang untuk memastikan sejarah Tomalou ditulis.
Sejarah kampung atau desa harus ditulis sebab terbentuknya satu hunian manusia terjadi melalui proses panjang. Proses pembentuknnya selalu terikat pada kronologi peristiwa, selalu sinambung antara kejadian sebelum dengan sesudahnya. Sejarah melihat ini penting karena pembentukan area hunian melibatkan dimensi ruang, waktu, dan manusia; tiga dimensi penting dalam penulisan sejarah yang analitis.