-->

Cerita Kampung Arab (Bagian 1)

Editor: Irfan Ahmad author photo
Rumah Basar di Kampong Arab atau Kampung Tenga, milik Habib Abubakar bin Salim Alhadar (1881-1951), Letnan Arab di Kesultanan Ternate. Foto: Koleksi Alwi Sagaf.
Kedatangan Orang Arab di Jazirah Al-Mamluk
Kedatangan orang Arab di Ternate, Maluku (Utara) berdasarkan tradisi lisan setempat bahwa pada akhir abad ke-2 Hijriah (abad ke-8M). Selain saudagar untuk melaukan jual-beli cengkeh juga terdapat empat orang syeh dari Irak, Persia (Putuhena, 1970: 264). 

Dikisahkan bahwa nama “Mulluk” diucapkan pertama kali oleh saudagar Arab ketika tiba di kepulauan rempah-rempah (cengkeh) yang banyak diminati para bangsawan waktu itu. Setelah mereka mengetahui bahwa pulau yang mereka sampai adalah pulau rempah-rempah, sontak mereka pun bersorak kegirangan sambil berseru “Mulluk” sebagai bentuk jamak dari Malik artinya “raja” (Saifudin Zahri, 1979: 367).

Tentu saja di sini lebih tepat diartikan kata “Mulluk” sebagai tempat yang paling istimewa, telah mereka temukan yaitu “kepulauan rempah-rempah” yang telah lama dicari. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Maluku pada saat itu telah dikenal sebagai kepulauan raja-raja.

Oleh de Graaf (1977;22) pedagang Arab menamakan Kepulauan Maluku dengan julukan Jazirah Al-Mulluk, yaitu kepulauan raja-raja, menunjuk pada empat kerajaan di (Ternate, Tidore, Moti dan Makeang) yang sangat berpengaruh secara politis dan ketatanegaraan.

Sementara oleh de Clercq (1890:351) mengemukakan bahwa “Nagarakertagama” karya Mpu Prapanca, seorang juru tulis Majapahit yang hidup pada masa pemerintahan Hayam Wuruk (1365 M), bahwa nama “Maloko” atau Maluku selalu dihubungkan dengan bahasa Arab.  Ia kemudian mentranskripsikan tulisan Arab dari panji kesultanan Ternate yang tertulis Al Malok Buldan Ternate. Artinya, ‘Maluku kerajaan Ternate’. 

Sementara oleh Fraassen (1987:24), nama Maluku yang dicatat dalam “Nagarakertagama” sebagai "Maloko", diduga bahwa penulis (Prapanca) telah mengadopsi nama itu dari para pedagang Arab yang melakukan kegiatan perniagaan di Nusantara kala itu. Bahkan orang Arab yang menuju Nusantara hingga mencapai Maluku juga memiliki peta tersendiri. 

Kampung Arab
Meskipun kedatangan orang Arab telah berlangsung cukup lama, seperti yang telah di uraikan di atas, dalam sumber-sumber sejarah Maluku, tidak terdapat keterangan tentang pemukiman orang Arab di Ternate dan Maluku pada umumnya. Karena kedatangan orang Arab di Ternate, awalnya hanya berkepentingan dagang dan menyebarkan agama Islam, saat itu. Dengan demikian, mereka tidak menetap di suatu wilayah melainkan berpindah dari satu pulau atau wilayah ke wilayah lain (Irza, 1990; 34). 

Meskipun begitu, orang Arab telah menempati Sumpalo serta hidup berbaur dengan masyarakat di sekitar Pelabuhan Talangame dan permukiman orang Melayu di bagian utara pelabuhan. Beberapa laporan Portugis dan Spanyol mendokumentasikan orang Arab dan penganut agama Islam saat itu adalah sebagai “penganut Muhammad” yang tidak memakan atau haram hukumnya mengonsumsi babi dan anjing (Alwi, 2005:328).

Setelah kedatangan Verenigde  Oost  Indische  Compagnie (VOC)  dan atas izin Sultan Ternate. Bekas pemukiman Melayu dijadikan Benteng Belanda kemudian diberi nama Fort Oranje. Setelah membangun benteng dan menjadikan sentral perdagangan VOC di Nusantara, pihak pemerintah mulai menata pemukiman sekitar benteng. Karena, selain orang Maluku dan Belanda disekitar benteng juga terdapat orang Arab, Cina, Melayu, Makassar, dan orang Jawa yang saat itu ramai melakukan perdagangan cengekh di Ternate, Maluku (Valentijn, 1724:14). 

Baik Valentijn dan lebih jauh lagi Gubernur Portugis di Ternate, Antonio Galvao  (1536-1540) tidak menyebutkan letak perkampungan orang Arab, saat itu. Akan tetapi, ketika disinggung orang Maluku yang telah menganut agama Islam selalu dikaitkan dengan orang Arab yang datang lebih dahulu sebelum mereka (Eropa) tiba di Maluku.

Pemberitaan kedatangan orang Arab, baru terdokumentasi secara resmi oleh Pemerintah Hindia Belanda di Ternate pada 1822. Kedatangan orang Arab ini bersamaan dengan Sultan Palembang, Mahmud Badaruddin yang menjalani hukuman pengasingannya di Ternate (Adnan Amal, 2010: 221). Karena kepentingan Pemerintah Kolonial Belanda, maka laporan perjalanan terlihat sangat ketat dan detail, bahkan dalam laporan tersebut selain orang Palembang juga tercatat sekelompok orang Cina yang datang di Ternate, selain orang Arab (Irza, 1990:33). 

Sumber lisan dan tertulis membuktikan bahwa orang Arab yang menjalankan usaha perdagangan di sekitaran Benteng Oranje telah berlangsung sejak lama yang berdampingan dengan orang Cina, dan terdokumentasi hingga pertengahan abad XIX. Penempatan orang Arab, Cina, Makassar dan palembang di sekitar Benteng Oranje dengan tujuan agar mereka mudah dikontrol oleh Pemerintah Belanda. 

Areal Pertokohan pedagang Arab dan Cina di ternate. Foto: Koleksi KITLV.

Meskipun sejak lama orang Arab mendiami Sumpalo, Talangame dan terakhir bagian selatan Benteng Oranje. Mereka tidak menamakan pemukiman mereka sebagai “Kampung Arab”. Mereka lebih memili berbaur dengan masyarakat. Orang Ternate—lah yang mengidentifikasikan pemukiman orang-orang Arab dengan sebutan  “Kampung Arab”. 

Sejak sultan Ternate, Muhammad Usman (1902-1914) bertakhta orang Arab mendapat perlakukan yang cukup istimewa. Ou Haji sapaan akrab Muhammad Usman menjadikan Sayid Muhsin Bin Muhammad Albaar sebagai guru spitual/guru agama. Pada 1905 Sayid Muhsin kembali menjapat kepercayaan menjadi imam jiko (Fraassen, 1987). Orang Arab kembali mendapat satu kehormatan dengan diangkatnya seorang pemimpin Arab yang bergelar Letnan Arab di Ternate untuk mengontrol orang Arab di Residen Ternate (Wrede, 1937: 59).

Jumlah orang Arab yang terus meningkat dan terkosentrasi hanya di bagian selatan benteng Oranje. Penyebutan Kampung Arab digunakan oleh orang Ternate maupun orang Maluku pada saat itu, sebagai penunjuk tempat. Karena tempat tersebut banyak terdapat orang Arab, maka sering kali orang yang bepergian ke tempat tersebut menyebut “ke kampung Arab”. 

Sama halnya dengan penamaan Kampung Makasar, Fala Jawa, Keraton Tidore, Cina, Palembang, Sarani, Bastiong, Kalamata, Tolukko, Jerbus, Talangame, bahkan nama Kota Tua Ternate yaitu Sumpalo.

Sementara beberapa keterangan dari turunan Arab di Ternate, lebih senang menyebut kampung yang mereka tinggali adalah Kampung Tengah. Disebut kampung Tengah karena kampung tersebut berada di tengah yang dikelilingi oleh kampung Cina, Palembang, dan Eropa/Sarani, kala itu. Kampung Tengah sama halnya dengan sebutan “kampung Arab”, karena nama “tengah” menjukan tempat/kampung yang berada di bagian tengah.

Sebaran rumah orang Arab di Kampung Tengah atau Kampung Arab. Gambar: Koleksi Rosydan Arbi.
Dalam laporan Statistik “Volkstelling,  Inheemsche  Bevolking  van  Borneo,  Celebes,  de  Kleine  Soenda Eilanden  en  de  Molukken1936”. Keterangan terkait dengan kampung Tengah tidak tercatat melainkan orang Arab yang mendiami bagian selatan Benteng Oranje. Keterangan yang terdapat dalam catatan harian Chasan Boesoirie,Sekelumit Cerita Satu Sisi Kehidupan Seorang Dokter”, juga tidak ditemukan adanya sebutan kampung Tengah. Kampung Tengah diduga pertama kali digunakan dan terdokumentasi sekitar tahun 1950’an. 








Share:
Komentar

Terkini