-->

Orang Tobelo Selatan (Towiliko, Boeng, Modole, Pagu)

Editor: Irfan Ahmad author photo
Peta Kawasan Teluk Kao di Halmahera Bagian Utara Abad XIX. Summer: KITLV 159178.
Sukubangsa Tobelo merupakan ssalah satu sukubangsa yang berada di daerah semenanjung bagian utara Pulau Halmahera.  Pada abad XVII  orang  Tobelo  terbagi  atas  dua  komunitas,  yakni  Tobelo-Tia atau “Tobelo Darat” yang bermata pencaharian utama sebagai petani, dan Tobelo-Tai  atau “Tobelo  Laut”  bermata  pencaharian  sebagai  nelayan (Leirissa, 1996). Pembagian  ini  dilakukan oleh Kolonial  Belanda  dimaksudkan  untuk  mengetahui  dan  membedakan penduduk Tobelo yang sudah keluar hidup di pesisir pantai dan kepentingan pungutan pajak. 

Tradisi  lisan  orang Tobelo menyebutkan  bahwa nenek moyang dari Utara dan Selatan Tobelo pernah tinggal bersama-sama di pinggiran Talaga  Lina.  Tapi  nenek  moyang  dari  Tobelo  bagian utara diajak oleh  Sangaji  Gam Konora (perwakilan  dari  Sultan  Ternate) untuk keluar dari  Talaga  Lina  dan mendiami pesisir pantai.  

Setelah  keluar  dari  pedalaman,  mereka  menetap  di  pantai  Paca kemudian pindah ke Gam Hoku (desa terbakar). Kondisi politik yang tidak stabil dan  sering terjadi  pertikaian  antara  penduduk  Tobelo,  kelompok  ini  kemudian hijrah ke utara yang disebut Gam Sungi (desa baru) yang berkembang menjadi  Kota  Tobelo.  Oleh karena itu, orang Tobelo-Tia  tidak  didapati, karena pada abad XIX mereka tidak lagi tinggal di sekitar  Talaga Lina melainkan hidup di wilayah pesisir bagian selatan distrik Kao dan mereka tidak lagi disebut sebagai Tobelo-Tia, melainkan disebut sebagai Tobelo Selatan. Sementara, Utara  Tobelo  sejak abad XIX  dibagi menjadi empat  soa atau hoana dan Selatan Tobelo dibagi menjadi empat hoana. Pembagian ganda pada masyarakat Tobelo secara keseluruhan pada akhir abad XIX baik di Selatan Tobelo maupun Utara Tobelo. Beberapa keterangan juga menyebutkan bahwa, ketika orang Tobelo masih hidup  di  Talaga  Lina, mereka terhimpun kedalam sembilan hoan. Namun  jumlah sembilan dalam pembagian tersebut tidak pernah terealisasi dalam struktur sosial-politik pada saat itu (Fraassen,1979).
Masjid Tua di Kampung Popon. Sumber: Koleksi KITLV.
Campen (1883) menulis bahwa dalam distrik Kao telah ditemukan orang Towiliko atau disebut Soa-Sio, Boeng, Modole, dan Pagu. Namun dalam penulisan tersebut, ia tidak menjabarkan dengan jelas bahwa sukubangsa yang terdapat di wilayah Kao terdiri dari empat hoana dan masing-masing hoana dipimpin oleh seorang sangaji. Akan tetapi, sejak abad XVII wilayah Halmahera bagian utara (Kao, Tobelo dan Galela) takluk di bawah Kesultanan Ternate. Maka secara tidak langsung sistem pemerintahan tradisional penduduk Galela, Tobelo, dan Kao berada di bawah sistem pemerintahan tradisional Kesultanan Ternate, dan hal ini berlangsung hingga kemerdekaan Republik Indonesia. Dalam sumber-sumber Belanda, telah disebutkan bahwa orang Towiliko, Boeng, Modole, dan Pagu yang seringkali mengidentifikasi diri mereka sebagai suku bangsa Kao yang berasal dari Selatan Tobelo atau disebut dengan Tobelo-Tai (Fraassen, 1975). Berikut adalah kelompok sosial yang mendiami wilayah Teluk Kao sejak abad XVII dan belakangan mengidentifikasikan sebagai orang Kao. 
Makam Syekh Al Mansyur dan Muridnya di Kampung Popon. Summer: Balar Arkeologi Maluku.
Orang Towiliko
Penyebutan Kao adalah nama yang diambil dari sebuah Teluk (Teluk Kao) yang berada di Halmahera bagian utara. Awalnya tempat ini tidak dihuni oleh masyarakat hingga abad XVI. Dalam catatan sejarah maupun sumber lisan, penduduk yang mendiami Teluk Kao adalah orang Tobelo yang keluar dari Talaga Lina. Oleh Fraassen (1975), pada abad XVI pihak Kesultanan Ternate mengirimkan Sangaji Gam Konora sebagai utusannya ke Halmahera bagian utara. Sangaji Gam Konora  atau sering disapa Sangaji Leliato adalah ipar dari Sultan Ternate, Khairun Djamil, 1535-1570 (Tauran dkk, 1991). Pengiriman utusan Ternate ke Talaga Lina dengan maksud mengajak orang Tobelo untuk turut terlibat dengan Kesultanan Ternate dalam berbagai peperangan yang sering terjadi saat itu. Sangaji Leliato pun berhasil mengajak sekelompok orang yang kemudian menamakan diri mereka sebagai orang Ka’kao. Ka’kao artinya  dapur.

Penyebutan Ka’kao bagi komunitas mereka karena sejak akhir abad XVI-XX wilayah tersebut sebagai lumbung makanan bagi Kesultanan Ternate yang menghasilkan sagu, mutiara, taripang, kulit penyu dan damar dengan kuwalitas terbaik. Selain orang Ka’kao yang ikut keluar dari Talaga Lina ke wilayah Popon juga terdapat orang Boeng, Modole, dan orang Pagu. Keempat domain ini kemudian sering menyebut diri mereka sebagai orang Tobelo Selatan atau orang Tobelo-Tai karena mereka tidak hidup lagi di pedalaman (Tobelo-Tia).

Orang Tobelo Abad XIX. Summer: Koleksi KITLV.
Setelah orang Ka’kao memeluk agama Islam, Kesultanan Ternate mengutus sangaji Kuabang untuk mengajak mereka dari Popon ke wilayah pesisir. Atas keberhasilan sangaji Kuabang mengajak orang Ka’kao beliaupun diberikan gelar sebagai sangaji Jiko Ma Kolano, artinya “Penguasa Teluk”. Sementara orang Ka’kao yang menempati wilayah pesisir, oleh sultan Ternate memberikan nama panggilan baru kelompok mereka sebagai orang Towiliko, artinya “mengikat” atau “saya mengikat dia”. Kelompok etnik yang disebut sebagai Selatan Tobelo yang mendiami pesisir pantai (Teluk Kao) dan mengabdi kepada Kesultanan Ternate sejak abad XVII.

Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa kata Towiliko. bermakna “saya mengikat dia”. Orang Towiliko berasal dari pedalaman Halmahera yang bertempat di Talaga Lina dan berpindah ke Popon kemudian ke pesisir pantai. Pemberian nama tersebut dengan harapan bahwa orang Towiliko dapat mengajak dan “mengikat” ketiga etnik lain yaitu orang Boeng, Modole, dan Pagu untuk hidup di pesisir pantai dan mengabdi pada sultan Ternate. Atas keberhasilan orang Towiliko. Maka untuk kesekian kalinya sultan Ternate memberikan gelar sebagai “kaso ma hema” artinya “kepala anjing/pemimpin dari kawanan anjing” yang setia mengabdi pada Kesultanan Ternate. Menurut sumber lisan “nama anjing digunakan dalam pribahasa ini, dikarenakan anjing adalah salah satu binatang yang dianggap setia pada majikannya.”

Orang Boeng 
Kata boeng dalam bahasa lokal artinya “darah mati”, darah yang keluar dari tubuh dan mengalir ke tanah saat seseorang terbunuh dengan pedang atau senjata tajam lainnya. Kata yang sebenarnya bermakna darah mati adalah boang dan bukan boeng, karena persoalan etika penyebutan, maka kata boang di ganti dengan boeng.  

Sebenarnya bukang boeng tapi boang yang artinya “darah mati itu, cuma torang pe orang tua-tua dulu bapikir itu dapa dengar talalu kasar kong dong kase tukar deng boeng, tong pe daerah ini  yang dong bilang Kao pesisir, ini daerah musuh atau bahaya”. 

Orang Boeng adalah salah satu pasukan yang sangat dikagumi oleh Kesultanan Ternate atas kesetiaan, keberanian dan tangguh dalam peperangan. Bahkan keberhasilan Kesultanan Ternate dalam melakukan ekspansi tidak terlepas dari keikutsertaan orang Boeng di dalamnya (Reirissa, 1990).

Orang Modole
Kata Modole berarti ujung, terdepan atau yang memimpin (ma tomole). Diibaratkan seperti tombak atau pedang, Modole adalah ujung atau bagian yang paling tajam dari kedua peralatan tersebut. Seperti halnya dengan orang Boeng. Orang Modole juga merupakan pasukan yang siap dalam kondisi apapun bila ada ancaman yang datang. Menurut mereka, hal ini masih ada hubungannya dengan sejarah Ternate, yang juga selalu mengandalkan orang Modole dalam setiap peperangan yang dilakukan oleh Kesultanan Ternate maupun melakukan ekspansi wilayah kekuasaannya.

Orang Pagu
Awalnya etnik Pagu menyebut mereka sebagai orang alu artinya gua (bahasa Pagu). Hal tersebut dilebelkan pada mereka, karena setelah melakukan perburuan mereka akan mendiami gua sebagai tempat istrahat mereka. Pada satu saat terjadi peperangan antara orang alu dengan orang Boeng. Akibat dari peperangan itu orang alu berpindah ke wilayah “wiliyin lelewi” (saat ini desa Gayok) melalui sungai togosi. Demi keselamatan mereka dari perburuan dan pembunuhan, mereka mengunakan nama Isam. Pengunaan nama Isam diambil dari buah pohon posi-posi (jenis pohon bakau yang hidup di sungai) yang banyak tumbuh di wilayah “wiliyin lelewi”. 

Menjelang abad XVII kepala suku Isam mendengar kabar bahwa sultan Ternate mengunjungi wilayah Boeng, setelah mendengar kabar tersebut kepala suku menuju pesisir pantai dan menunggu sultan. Setelah menunggu beberapa hari sultan dengan perahu kesultanannya melewati perairan Teluk Kao, dan kepala suku Isam mengejar sultan dengan cara berenang dan berpegang pada cadik perahu. Karena pertautan antara kayu yang melintang perahu dengan bambu kering yang membujur sejajar perahu disebut pagu, maka mereka kemudian disebut orang Pagu. 

Mengetahui bahwa ada orang yang ingin bertemu dengan sultan, maka sultan pun menanyakan:  “ngona mau koa” artinya kamu mau apa? kepala suku orang Isam: “ya jou talahi barakati” artinya saya minta diberkati. Maka sultan Ternate pun memberikan gelar Tubol ma Lamok, artinya puncak gunung yang besar dan memberikan tanah ulayat yang akan ditempati. Sejak peristiwa tersebut maka nama Isam diubah menjadi Pagu (Rainannur A. Latif, 2015).
Share:
Komentar

Terkini