Dari akun Facebook salah satu media massa—Radar Halmahera, edisi 17/3/2018—saya kutipkan di sini. “Kemenhut Bakal SK-kan Tanah Adat Pagu. Perjuangan masyarakat Pagu, untuk mendapat pengakuan hak akan tanah adat di sebagian wilayah Kao dan Malifut, selangkah lagi bakal terwujud. Pasalnya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, mulai memberikan lampu hijau dengan berencana membuat SK tentang tanah adat dari suku tersebut. Salah satu bukti, keseriusan dari kementerian tersebut dengan mendatangkan tim dari Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (BPSKL) untuk melakukan identifikasi lapangan”. Sekelompok orang menginginkan pengakuan dari pemerintah atas tanah adatnya.
Tanah (Adat): di antara klaim dan penyingkiran
Secara historis, sukubangsa Pagu memiliki ikatan yang sangat kuat dengan Kesultanan Ternate. Orang Pagu lalu diberikan tanah oleh sultan di wilayah Teluk Kao. Namun perlu diketahui bahwa, selain orang Pagu, di sana terdapat juga orang Toliwiko, Modole, Boeng dan Makeang. Mereka wilayah itu menempati wilayah itu sejak tahun 1975, melalui putusan SK Bupati Kepala Daerah Tingkat II Maluku Utara No.9/10-1/MU/1975 tanggal 30 Juni 1975. Melalui SK ini, pulau Makeang diklaim sebagai pulau tertutup dan mewajibkan mengikuti proyek bantuan dan penyantunan korban bencana alam Maluku, melalui Kantor Wilayah Departemen Sosial Provinsi Maluku. Mudaffar Syah (Sultan Ternate), saat diwawancarai wartawan Tabloid (23/2/2000) menegaskan bahwa, “Status tanah di Malifut adalah tanah Negara, maka semua warga Negara berhak untuk menempati tanah tersebut demi kepentingan umum sesuai dengan ketentuan oleh Pemerintah Republik Indonesia. Bahkan, dalam proses pemindahan orang Makeang ke wilayah Teluk Kao, juga dilakukan langsung oleh Sultan Ternate dan terlibat dalam penentuan tempat pemindahan bagi masyarakat Makeang pulau ke wilayah Malifut-Kao.
Etnik Towiliko, Boeng, Modole, dan Pagu yang menempati wilayah Kao, sama halnya dengan orang Tobelo yang awalnya menempati Talaga Lina. Setelah takluk oleh Kerajaan Ternate, orang Tobelo juga turut mengabdi dan loyal pada kerajaan Ternate untuk melakukan ekspansi wilayah. Atas dasar inilah mereka mendapat tanah ulayat dari Kesultanan Ternate sebagai bentuk pengabdian mereka. Akan tetapi, tanah ulayat sejak akhir abad XIX dan awal abad XX pihak Kesultanan Ternate yang memiliki hak atas tanah atau aha kolano dan raki kolano diubah menjadi hak publik yang diatur oleh Pemerintah Belanda melalui kontrak politik dalam korte verklaring pada 1910, sehingga sultan Ternate tidak lagi memiliki hak tanah secara pribadi (Masyhud, 2008).
Lantas atas dasar apa, ada sebagian orang yang memiliki kepentingan di Teluk Kao kembali mengklaim tanah tersebut adalah bagian dari tanah adat? Mau diapakan tanah adat tersebut? Semoga saja maksud mereka baik.
Tanah dalam sejarah Moloku Kie Raha
Pada zaman kekuasaan raja/sultan, hukum tanah didasarkan pada sistem feodalisme. Menurut sistem ini, tanah adalah milik raja. Raja adalah pemilik tanah, dan rakyat adalah milik raja yang dapat dipergunakan untuk kepentingan dan kehormatan sultan.
Sebelum berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria, Kesultanan Ternate berhak atas tanah menurut hukum swapraja Ternate yang meliputi lima jenis, yaitu, Aha Kolano, Raki Kolano, Aha Soa, Aha Cucacu, dan Gura Gam. Aha berasal dari kata kaha yang bermakna ‘tanah’. Aha dalam bahasa Ternate mengandung pengertian hak, yaitu hak kepemilikan atas tanah.
Pada hakikatnya, seluruh tanah merupakan aha kolano (tanah sultan), tetapi penguasaan aha kolano oleh sultan hanyalah bersifat politik. Tanah adalah kepunyaan kolano (sultan) dan rakyat hanya sebagai pemakai dan hanya berhak meminjam.
Selain kelima jenis tanah di atas, orang Ternate juga mengenal aha eto. Eto artinya bagian. Tanah milik sultan yang diberikan kepada bangsawan kesultanan yang terdiri dari sangaji, kimalaha, dan fanyira merupakan penghargaan kepada mereka atas pengabdiannya terhadap sultan. Sangaji, kimalaha, dan fanyira akan meminjam tanah tersebut dari rakyat yang dianggap berjasa. Jadi, eto berlaku hanya setelah tanah tersebut dipinjamkan pada rakyat. Dengan demikian, rakyat tidak diperbolehkan menanam tanaman tahunan di atas tanah tersebut karena sifatnya hanya meminjam untuk digarap sementara waktu. Sudah menjadi kebiasaan bahwa dari tanah garapan milik sultan serta wilayah taklukan suatu kesultanan, sultan berhak menerima upeti sebagai bentuk pengabdian mereka pada sultan (Tobias, 1857). Rakyat (penggarap tanah) wajib menyerahkan separuh hasil buminya kepada sultan sebagai upeti.
Pada tahun 1910 hubungan antara Kesultanan Ternate (termasuk Tidore dan Bacan) dengan Pemeritah Hindia Belanda yang sebelumnya diatur dengan kontrak politik diubah menjadi korte verklaring. Tampaknya setelah perubahan itu, Pemerintah Hindia Belanda semakin gencar mengintervensi kepentingan kesultanan terkait dengan upeti kepada sultan dari masyarakat adat atas garapan aha se kolano. Lalu pada tahun 1912 diadakan pertemuan para sultan Ternate, Tidore, Jailolo, Bacan serta sangaji, kimalaha dan fanyira dari keempat kesultanan, yang disebut dengan “Pertemuan Kie Raha” (pertemuan empat kesultanan). Pertemuan ini dimediasi oleh Pemerintah Hindia Belanda atas nama Keresidenan Ternate. Hasil pertemuan menyepakati bahwa tanah-tanah eto yang tidak dikelola oleh rakyat dinyatakan dihapus dan akan diserahkan kepada kampung untuk dikelola. Sementara tanah eto yang terdapat tanaman tahunan, pemerintah akan memberlakukan hak pakai (KV.1914).
Pertemuan Kie Raha atas prakarsa Belanda tampaknya menyoroti sistem upeti yang menjadi pajak konversi dengan menerapkan sistem pajak. Dari pajak kepala menjadi pajak tanah yang akan menjadi dasar bagi kepemilikan tanah oleh individu. Langkah ini dimaksudkan agar terdapat kejelasan batas-batas hak milik tanah yang akan memudahkan bagi proses persewaan lahan demi kepentingan investasi (KV, 1909). Namun, dalam kenyataannya, pemungutan pajak konversi tidak berjalan lancar. Sebagai konsekuensinya, pemerintah Belanda kemudian memutuskan untuk mengubah dan menerapkan sistem perpajakan yang baru, yaitu memungut pajak dihitung berdasarkan penghasilan tanah, air atau bentuk penghasilan lainnya yang diperoleh rakyat. Tujuannya adalah untuk menambah keuangan Belanda dari sektor pajak, dengan maksud untuk menutup biaya administrasi pemerintah (Staatsblad, 1914).
Tanah di Era Kemerdekaan
Pada 16 Mei 2013, Mahkamah Konstitusi (MK) melakukan koreksi terhadap UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan (UU 41/1999) melalui putusan MK dengan nomor 35/PUU-X/2012 (Putusan MK 35). Koreksi dilakukan dalam rangka menanggapi permohonan pengujian konstitusionalitas sejumlah ketentuan UU 41/1999 yang menyangkut status dan penetapan hutan adat serta bentuk dan tata cara pengakuan kesatuan masyarakat hukum adat.
Sebagaimana diketahui bahwa seluruh peraturan perundangan mengenai pengakuan masyarakat adat menyaratkan adanya tahapan pengukuhan keberadaan masyarakat hukum adat. Tahapan ini sering juga disebut sebagai tahapan pengakuan atas subjek hak. Sebagaimana telah disebutkan juga bahwa peraturan perundangan sudah menentukan adanya kriteria untuk mengukuhkan keberadaan masyarakat adat.
Kriteria keberadaan masyarakat adat ditandai dengan keberadaan: wilayah adat, kelembagaan adat, dan hukum adat. Ketiga kriteria tersebut memerlukan kajian ilmiah yang berdasarkan catatan histori dan budaya. Data dan informasi mengenai ketiga kriteria itu bukan hanya berdasarkan sumber lisan seseorang—yang belum tentu keabsahan datanya, bisa jadi karena sarat kepentingan pribadi atau kelompok belaka—tetapi harus dipadukan dengan metode ilmiah lainnya. Dengan begitu, objektivitas tekait penilaian terhadap keberadaan masyarakat adat beserta hak-hak atas tanah adatnya dapat dipetanggungjawabkan. Bukan klaim belaka. Inilah yang perlu dikhawatirkan dan diantispasi agar tidak terjadi kesalahpahaman dan saling mengklaim tanah oleh sekelompok orang.