-->

Mekanisme Pengangkatan dan Pelantikan Sultan Ternate

Editor: Irfan Ahmad author photo

Adat kesultanan Ternate atau disebut “adat kabasarang” adalah salah satu tradisi para leluhur yang telah dijalankan turun-temurun sejak zaman momole. Pada zaman momole, adat kabasarang untuk memilih kolano (pemimpin), mekanismenya berdasarkan kemampuan kekuatan secara mestikisme dan fisik. Adat kabasarang—dilaksungkan secara musyawarah baru dimulai sejak adanya “Musyawarah Foramadiahi” pada 1257. 

Adat kebsarang sebelumnya tidak terdokumentasi secara tertulis dan hanya berdasarkan pada cerita lisan/tutur. Sehingga tidak diketahui soa (klan) mana dan siapa saja yang terlibat dalam pengangkatan kolano. 


Pendokumentasian dan mekanisme pengangkatan sultan yang bercultur Islam dimulai ketika Zainal Abidin diangkat menjadi sultan Ternate (1486-1500). Sejak saat itu, sultan menerapkan agama Islam sebagai agama resmi untuk kesultanan Ternate, serta memberlakukan syariat Islam serta membentuk lembaga kerajaan sesuai hukum Islam (Hasan, 1987: 19). 


Sejak masa itu kesultanan Ternate berkembang dengan nuansa syariat dan budaya Islam. Dalam pelaksanaan adat kesultanan Ternate dikenal dengan sistem bobatu dunia dan bobato akhirat. 


Bobato dunia adalah lembaga yang mengatur hal ihwal kepentingan dan pengurusan keduniaan meliputi; komisi ngaruha yaitu yang diberi tugas tertentu sebagai lembaga eksekutif, serta komisi kapita yaitu lembaga pemerintahan yang bergerak dalam bidang kemiliteran. Sementara bobato akhirat  adalah lembaga yang mengatur tentang pelaksanaan yang menyangkut dengan kepentingan agama Islam yang terdiri dari: (1) jo kalem (qadhi), (2) imam terdiri dari imam Jiko, imam Jawa, imam Sangaji, imam Moti dan imam Bangsawan, (3) khatib terdiri dari khatib Jiko, khatib Jawa, khatib sangaji, khatib bangsawan dan khatib jo tulis dan (4) modim (Mudafar, (tt): 17-18).

PopAds.net - The Best Popunder Adnetwork


Upacara pengangkatan Putera Mahkota

Dalam karya B. Solarto (1980:95) “Sekitar Tradisi Ternate”, dijelaskan bahwa dahulu, bila sultan hendak menunjuk atau mengangkat salah seorang puteranya menjadi putera mahkota (ngofa majojo) terlebih dahulu berkonsultasi dengan kepala pemangku adat Istana dan kepala pemangku agama. Meskipun biasanya putera mahkota itu adalah putera sulung namun apabila putera sulung tersebut melakukan sesuatu hal tidak dapat diangkat menjadi putera mahkota. Misalnya kurang cakap atau karena putera sulung berbuat sesuatu yang melanggar adat istiadat Istana maka diperlukan adanya musyawarah atau konsultasi dengan para pemangku adat dan pemangku agama.

Apabila sudah dicapai kata sepakat barulah diberi tahu kepada pangeran untuk mempersiapkan diri guna disahkan pengangkatannya sebagai putera mahkota. Upacara ini di hadiri sultan, permainsuri dan seluruh keluarga, para raja fazal dan para duta besar negara asing. Juga dihadiri oleh perdana menteri, para menteri serta dewan perwakilan yang mewakili 18 soa (dewan 18). Sultan duduk di atas takhta, lalu pengeran yang bersangkutan datang duduk di lantai menghadap sultan, dengan sikap bersembah, lalu sultan mengucapkan titahnya. Dan sejak itu pengeran tadi menjadi putera mahkota. Kemudian putera mahkota mengucapkan janji akan setia kepada sultan, negara, agama dan adat. 


Setelah itu, lalu dibacakan do’a untuk keselamatan putera mahkota oleh para imam istana. Putera mahkota ini, juga akan melakukan upacara joko kaha (injak tanah), dan mengorbankan seekor kambing untuk makan bersama. Setelah acara makan bersama maka acara terakhir adalah penghormatan kepada putera mahkota yang baru diangkat. 


Kesultanan Ternate Tidak Mengenal Putera Mahkota

Versi lain juga ditemukan bahwa, kesultanan Ternate tidak mengenal adanya putera mahkota. Oleh Tobias (1857), bahwa adat kebiasaan orang Ternate, putera raja (putera mahkota) tidak secara otomatis mewarisi takhta apabila sultan meninggal. Saudara sultan, paman, kemanakan sultan juga merupakan calon sultan yang dapat dipertimbangkan sebagai penggantinya, tergantung dari pada syarat-syarat yang telah dipenuhi dan disepakati bersama oleh para pembesar kerajaan (bobato). Dengan demikian, hak untuk mewarisi takhta tidak hanya berada ditangan putera (anak) sultan, tetapi juga pada semua keturunan laki-laki dari keluarga  sultanatau bekas sultan. 


Budaya orang Ternate yang bercorak Islam itulah menghadirkan sistem pemilihan  sultan senantiasa bertumpu pada musyawarah. Hal ini tertuang dalam karya Yusuf Hasani (2015; 166-167) “Sistem Pemilihan Sultan Di Kesultanan Ternate”.


Sejak dahulu, kesultanan Ternate yang memiliki empat soa dan wilayah hukum—nya sebagai representasi dari masyarakat adat (bala), terlembaga ke dalam struktur politik yang dikenal dengan sebutan gam raha (empat klan).


Gam raha yang awalnya sebagai dewan pemilihan, beralih berfungsi sebagai penyeleksi dan pengajuan calon sultan. Peran ini sebagai pengakuan bahwa historis, bahwa turunan dari empat klan tersebut memiliki andil dan pengaruh yang kuat dalam pemilihan sultan. Sedangkan dewan 18, berfungsi sebagai lembaga pemilihan.


Setelah kesultanan Ternate menerima ajaran agama Islam, sistem pemilihan sultan diperluas dengan adanya keterlibatan perwakilan rakyat melalui lembaga bobato nyangimoi se tufkange (Dewan 18).  Dewan ini sebagai lembaga legislatif, representasi dari gam raha dari unsur sipil (soa-sio dan sangaji) yang mewakili aspirasi masyarakat atau keterwakilan dilembaga pemilihan. Demikian juga gam raha dari kalangan militer (heku dan cim)  juga berperan sebagai unsur keterwakilan masyarakat, hanya saja dalam proses pemilihan sultan, lembaga ini berfungsi sebagai perekrutan, menyelaksi dan mengajukan calon sultan. Dengan demikian gam raha dan bobato nyangimoi se tufkange  adalah pihak yang secara langsung berperan dalam proses pemilihan sultan. 


Upacara Penobatan Sultan (Jou Khalifa, Jou Kolano)

Seminggu sebelum putera mahkota dinobatkan menjadi sultan dalam sebuah upacara kenegaraan, ia harus menjalani adat mengurung diri. Adat mengurung diri mengandung makna filosofis yaitu untuk mensucikan kepribadian lahir batin. Adat mengurung diri ini, akan berlangsung diikuti dengan puasa 7 hari. Selama puasa orang tersebut akan melakukan zikir, menunggu waktu shalat. Shalat lima waktu selama melaksanakan ritual 7 hari tidak boleh ditinggalkan, dan diharuskan menjalankan shalat Tahajut. 


Bila putera mahkota dinobatkan karena sultan yang lama meninggal secara wajar, maka adat mengurung diri bermakna berkabung. Akan tetapi, bila sultan meninggal dengan cara yang tidak secara wajar dan menimbulkan krisis kepemimpinan, maka berbagai ritual tidak dilaksanakan dan langsung pada prosesi pelantikan dan pembacaan do’a selamatan. Seperti yang terjadi pada sultan Baabullah.


Setelah ritaul mengurung diri selesai, maka putera mahkota atau orang yang akan dilantik menjadi sultan akan duduk di takhta. Dalam acara ini akan dihadiri dan disaksikan oleh para anggota keluarga istana, Perdana Menteri atau jogugu, dewan 18, para tetua, para kepala soa, para ulama, qhadi, imam, khatib, modim, para raja, vasal, dan para duta besar negara-negara asing.


Kemudian kepala soa, kimalaha marsaoli sebagai ketua dewan rakyat didampingi oleh kepala pemangku adat Istana dan kepala pemangku agama istana melangkah ke depan untuk memberikan penghormatan (sembah). Lalu dua orang petugas khusus yang disebut sowohi dan sadaha membawa mahkota (stampa) menghampiri tahta dan mengenakan ke kepala putera mahkota. 

Sejak detik itulah putera mahkota menjadi sultan (jou khalifa, jou kolano), diiringi do’a oleh mufti serta lima imam Istana (imam jiko, imam jawa, imam sangaji, imam moti dan imam bangsa). Pada saat itulah para tamu turun dari tempat duduknya untuk menghaturkan sumpah pengukuhan kepada sultan yang baru. Kemudian Perdana Menteri (jogugu) tampil kedepan di depan sultan dan menghaturkan sembah serta menyampaikan laporan (suba) khusus untuk upacara penobatan sultan. 


Laporan khusus tersebut disampaikan dengan mengunakan bahasa yang berirama atau disebut rorasa, sebagai berikiut:


Sailillah suba jou kolano lamo-lamo no khalifah ma gori-gori. Sailillah suba jou kolano lamo-malo no khalifah ma gori-gori. No khalifah fat ur Rasyid, no tubaddilur Rasul.


No gugu tadbir parentah amar se nahi toma alam daerah moloku istana baldan Ternate, no tego toma singgasaan kolano, ni jojoko no sijoko toma thinil molok, nimomina se ni gogise mangagu ngagu intan se yakutmalili parmata jamrut,  ma bobela ratna mut jauhar manikam, ma cahaya isi woro toma alam daerah moloku istana bandan Ternate, limau duko se gapi, gapi se seki, matubu la ida di ka cahaya akal ihsan kolano.


Sailillah suba jou kolano lamo-lamo no khalifah ma gori-gori.

Kum kum uwa majo ni so syusyu kone rasul wajir fangare jogugu he Abdul Habib jiko tu tede re suba paksan mangale to siwaje waje ni molok kie raha Ternate se Tidore, Bacan se Jailolo, Sema mie gudu-gudu tobuku se Banggai se masara gudu gudu Sula se Taliabo se ni ronga se ni bobato dunia se akhirat, Soa sio se sangaji, Heku se Cim, se ni bangsa bara bangsa se ningofa ngofa kolano, se ningofaangare pehak berpehak se ni agama rasulullah maje jaga jokalem, se jo imam se jo khatib bobula raha, se nibala seni raayat, seni sahabat yang mukarram hoframintu Walandawi, ma istiadat sema kabasarang ma adat sema atoran, ma galib se malukudi, mengale sema cara, mangaro sema biasa, ngofangure ngommi mamoi moi mi hadir saddia tatap lengkap mi tede se misaha, misimulia se misidodoma toma zaman mtakaddimin se gado toma zaman mula akhiri itola ua moju toma safutu se wange isidutu hari kiamat.


Sailillah suba jou kolano lamo-lamo no khalifah ma gori-gori.

Kum-kum uwa moju ni so syusyu ngofangare jogugu he Abdul Habib Jiko to tede suba paksan.


Upacara ini merupakan upacara kenegaraan yang terpenting dan terbesar.  Pelaksanaan upacara adat ini merupakan upacara kenegaraan, sehingga diwajibkan adanya para bobato akhirat untuk membacakan do’a keselamatan manusia dalam kehidupannya. Adapun bunyi do’a—nya sebagai berikut:

بسم اهلل الرحمن الر حيم

احلمد هلل رب العا ملني اللهم صلي علي سيد نا محمد و علي سيد نا محمد

Ngofangare ngomronga bala se raarat moloku kie raha Ternate se Tidore, Bacan se Jailolo toma mie gudugudu sala se Tailabo. Misi tede mia puji se mia sukur sejou khalikul makhluk Rabbul arail adlim irahmati se ni’ mati iduka se igogoru se toma wange enane…. ibu serta rombongan idoru mai ito, ijoko mie kaha, sengofangare ngom mima moi moi mi rubu rubu se rame rame, mitede se misaha, milego se misimore si milahi lahi do’an se jou Rabbul aalamin la segila I umur se kokoko I zaman toma dhahir se batin, si sehat si afiah I jasad, si fela I akal se ikira kira laosi gogoko hokum se perentah to maamara bil ma’ruf anahil munkari wayahkumul adilina baenar rijali wannisa, la osiogo malimau toma baldatun tahibatun wa rabban gafura.


La ngoni bala se ra’yat, kie se gam, midorusu maalo se marano, marajiki se marahmati, toma se toma nyina toma murah se toma gampang, toma sehat se afia toma sofutu se wange moso se lobi, toma daiman abadi.


Artinya: Dengan mengagungkan nama Allah Maha Pengasih dan Penyayang. Kami seluruh rakyat Maluku Utara mulai dari ujung morotai sampai ke ujung Taliabo, mempersembahkan puja dan syukur kehadirat Allah, Tuhan seru sekalian alam, atas rahmat dan karuniaNya , cinta dan kasih sayang-Nya pada hari ini………..ibu serta rombongan, berkesempatan mengunjungi daerah, menginjak bumi kami, maka kami rakyat semua menyambut dengan hati yang penuh riang dan gembira, diliputi rasa untung dan bahagia.


Kami panjatkan doa kehadirat-Mu ya Tuhan, kiranya Kau penjatkan usianya, sehat afiatkan jasadnya, luaskan akal dan pikirannya, tanamkan jiwanya baik lahir maupun batin agar ia dapat menjalankan pemerintahan dan menegakkan keadilan mengajak kepada kebaikan dan mencegah kejahatan, berlaku adil baik kepada laki-laki maupun perempuan dan berikanlah kemampuan menenangkan daerah ini menjadi negeri yang aman damai dan makmur di bawah naungan rahmat-Mu ya Tuhan.


Semoga kami rakyat, daerah dan Negara, diliputi suasana aman dan damai, dilimpahkan rezeki dan rahmat di laut dan di darat, murah dan gampang, sehat dan afiah sepanjang masa siang dan malam, pagi dan petang tidak berkeputusan selama-lamanya (Proyek Pengembangan Media Kebudayaan, 1985: 79).


Selesai laporan suba, laporan dan do’a dibacakan. Rakyat (bala) bersorak menyambut sultan baru, kemudian dilanjutkan dengan upacara joko kaha (injak tanah) disertai dengan kurban beberapa ekor binatang (kambing), sebagai rasa syukur dan dimakan bersama. 


Beberapa hari berikuitnya (sesuai kesepakatan dan hari baik) dilakukan upacara fere kie (mendaki gunung Gamlamo). Dalam upacara tersebut sultan akan diiringi oleh kepala adat, para pemangku agama, Perdana Menteri bersama Dewan 18, dan kepala soa yang mencerminkan persatuan antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif. 

Sesampainya dipuncak gunung, sultan akan membacakan do’a kie dengan mengunakan bahasa Arab yang hakekatnya adalah do’a syafaat, memohon berkat dan pertolongan kepada Allah SWT dan melakukan jiarah dibeberapa makam tua. 


Selain fere kie, sultan yang baru dilantik juga punya kewajiban membuat melakukan upacara jokomolo (“penghormatan kepada lautan”). Dalam prosesi upacara ini, sultan, keluarga sultan dan para menteri menaiki perahu kagunga atau disebut “istana terapung”. Kemudian diiringi dengan kora-kora serta perahu juanga. 


Upacara akan dibacakan do’a keselamatan dan tolak bala dibeberapa titik tertentu, sekaligus memamerkan kekuatan bahari milik Kesultanan Ternate. upacara jokomolo ini dilanjutkan sekaligus berlayar mengelilingi gunung gamlamo atau disebut kololi kie. Dan upacara yang terakhir adalah sultan menghadiri serta menyaksikan legu-legu yang khusus dipertunjukan kepada sultan. Biasanya dalam acara tersebut, sultan akan diingatkan tentang tanggungjawab sebagai sultan, melalui syair yang terdapat dalam legu-legu

Intervensi Kolonial Dalam Pengankatan Sultan

Sultan Bayanullah dikenal sebagai peletak peradaban Maluku. Perjumpaan Bayanullah dengan Portugis terjadi pada 1512. Niat Serrao untuk berdagang diterima dengan baik oleh Bayanullah, bahkan ia dijadikan penasihat Sultan. Terciptalah perjanjian Bayan-Serrao, yang meliputi pembukaan sebuah pos dagang Portugis di Ternate. Peristiwa ini merupakan langkah awal politik monopoli Portugis di bidang perdagangan rempah. Tindakan Bayanullah bukan tanpa alasan, sebab sesungguhnya penjemputan Serrao merupakan bagian dari persaingannya dengan Sultan Almansur dari Tidore (Fraassen,1987:35-36).


Wafatnya Sultan Bayanullah pada 1522, hubungan baik ini tidak bertahan lama, dan keadaan menjadi kacau akibat dari kelakukan orang Portugis yang membuat perang terbuka dengan sultan setempat. Karena Deyalo dan Abu Hayat (puetra mahkota) masih kecil, maka Bayanullah digantikan oleh isterinya, Nukila (de Castro, 2019: 184).


Setelah mencapai usia yang ke-20 tahun, Deyalo (1531–1532) diangkat sebagai sultan ketiga Kesultanan Ternate, walaupun hanya dalam waktu yang singkat (1528–1529). Pada masa berkuasanya Deyalo, kemelut melanda Kesultanan Ternate. Deyalo berkonflik dengan Taruwese yang bersekongkol dengan Portugis untuk menjatuhkannya.


Pengganti Deyalo, yaitu adiknya yang bernama Abu Hayat (1532–1533), naik tahta dan menjadi sultan ke-4. Ia harus menghadapi intrik politik internal dan intervensi Portugis, meskipun masih mengharapkan peluang kerja sama dengan Gubernur Gonzalo Pereira (1530–1532).


Posisi Abu Hayat yang sangat menentang Portugis pun akhirnya berujung pada pelengserannya dari jabatannya sebagai sultan, dengan campur tangan Portugis pada 1531. Sebagai sultan, ia difitnah dan dituduh menjadi dalang pembunuhan pejabat Portugis. Abu Hayat tidak mampu mengatasi intrik politik istana, dan selama pemerintahannya kemakmuran merosot tajam.


Abu Hayat digantikan oleh Pangeran Tabariji (1533–1535) yang naik tahta menjadi sultan ke-5. Pada masa pemerintahannya, intervensi Portugis semakin dalam dengan mengajak Ternate dan Tidore untuk menyerang Bacan dan Jailolo atas prakarsa Gubernur Tristao de Ataide, 1534–1537 (Andaya, 1993: 121-122).


Dimasa sultan Deyalo, Abu Hayat , dan Tabariji—lah kesultanan Ternate semakin lemah, dan membuka peluang terjadinya intervensi Portugis. Bahkan naiknya Tabariji sebagai sultan Ternate juga mendapat restu dari pihak Portugis dan ini merupakan tindakan yang telah keluar jauh dari adat kesultanan Ternate atau disebut adat kabasarang telah dijalankan turun-temurun dan salah satu warisan para leluhur orang Ternate.


Setelah kepergian Portugis dan hadirnya Belanda (VOC) di Ternate. pihak VOC juga memaksakan serta menegaskan kotrol terhadap ekonomi dan politik di kesultanan Ternate. Maka pada 1609 yang dibuat perjanjian antara VOC dengan pihak kesultanan Ternate. Melihatkan intervensi terhadap pasar perdagangan cengkih di Ternate, VOC mengeluarkan sejumlah keputusan yang bersifat mengikat dan monopoli pasar. Selain keputusan yang dikeluarkan secara sepihak, VOC juga membuat sejumlah kesepakatan yang bersifat politis. Kesepakatan-kesepakatan yang dibuat lebih pada kepentingan VOC dalam konteks perlindungan pasar cengkih yang di intervensi. 


Secara struktur, VOC merupakan bentuk dari sistem kapitalis yang berupaya untuk menghalalkan segala cara demi memperoleh keuntungan besar dari kegiatan perdagangan. Untuk mempertahankan diri, VOC membangun kekuasaan layaknya sebuah negara dan menghancurkan sendi-sendi kekuasaan pribumi. 


Sejak VOC berhasil menguwasai keadaan politik di Maluku Utara, maka raja yang dipilih oleh para bobato harus mendapat persetujuan dari pihak VOC.  Dengan denikian kompeni, dan kemudian pemerintah Hindia Belanda, dapat mempengaruhi keadaan dalam negeri walaupun dikatakan bahwa tentang urusan intern tidak ada campur tangan Belanda. 


Berakhirnya kekuasaan VOC, intrik politik ini juga diterapkan oleh pihak Pemerintah Hindia Belanda yang berkuasa di Maluku (utara). Dalam berbagai laporan Belanda ditemukan bahwa Pemerintah Hindia Belanda selalu membuat kontrak politik dengan sultan Ternate, Tidore, dan Bacan. Mula-mula perjanjian ini merupakan perjanjian “persekutuan”, tetapi lama-kelamaan keadaan ini berubah dan menempatkan kedudukan sultan menjadi lebih rendah dan dikontrol langsung oleh Pemerintah Belanda.


loading...

Sebagaimana yang terdapat dalam laporan serah terima jabatan atau memori van overgave (MVO) Residen J.H. Tobias (1857), hubungan Ternate, Tidore, dan Belanda diteguhkan dalam suatu perjanjian dari tanggal 27 Mei 1824, dan untuk Bacan ditentukan menurut perjanjian pada tanggal 10 Desember 1826. Adapun semua perjanjian ini didasarkan prinsip bahwa sultan-sultan tersebut mengakui kekuasaan tertinggi dari dari Pemerintah Belanda, sedangkan pemerintah ini sedapat mungkin tidak akan mencampuri urusan dalam negeri kerajaan masing-masing, walaupun demikian kita melihat bahwa justru dalam soal-soal penting mengenai urusan dalam negeri, Belanda mempunyai suaru yang menentukan, misalnya mengenai pergantian sultan dan juga dalam hal pengangkatan pejabat-pejabat kesultanan. 


Dalam laporan (MVO) J.H. Tobias (1857) dan C. Bosscher (1859), dengan jelas bahwa campur tangan Belanda sangat besar. Peristiwa mengenai sultan Tidore yang wafat pada tanggal 11 Juli 1856 seperti yang dilaporkan Residen Tobias, merupakan ilustrasi yang sangat jelas, bagaimana intrik yang dilakukan oleh Pemerintah Belanda dalam mengambil kekuasaan dan mengontrol istana. 


Di dalam MVO tersebut juga  dijelaskan bahwa di kantor Karesidenan Ternate telah tersedia dua sampul yang disegel. Masing-masing sampul itu untuk kesultanan Ternate dan Tidore dan hanya boleh dibuka apabila sultan bersangkutan telah mangkat. Di dalam sampul inilah terdapat keputusan pemerintah Hindia-Belanda tantang siapa yang akan mengantikan sultan nanti.


Share:
Komentar

Terkini