Jojo begitu saya menyapa Budi Janglaha. Sosok lelaki kelahiran Tidore yang memiliki pendirian, idealisme, dan peduli dengan kebudayaan daerah Maluku Utara. Kepedulian terhadap isu kebudayaan, saat Jojo terlibat aktif di Komunitas Matahati dan Garda Nuku. Berlatar belakang pegiat seni-budaya dan terus bertahan hingga saat itu—Jojo seolah mendapat pijakan kukuh ketika menjadi ketua Matahati periode (2005-2011). Kepedulainnya dan peka terhadap isu sosial dan kebudayaan di Maluku Utara terus berkecamuk, bahkan nyaris hampir setahun gaji sebagai pegawai negeri sipil (PNS) tidak terima dan “dikucilkan” di kantor. Itu semua dilakukan karena memiliki prinsip hidup “loa se banari”. Sekalipun kerja dan tidak mendapat gaji, semangat Jojo tidak pernah surut. Berbagai diskusi dan aksi turun ke jalan—pun dilakukan untuk memprotes kebijakan pemugaran benteng Kastela (Ternate) dan Roem (Tidore) yang bertentangan nilai-nilai yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya.
Jojo yang saya kenal adalah lelaki idealis dan berbeda dengan beberapa teman yang saya kenal kala itu. Menjelang awal tahun 2011 dengan berbagai kesibukan masing-masing. Lima tahun tidak saling ketemu, Jojo kemudian memilih merintis usaha percetakan spanduk dan baliho (janglaha Printing). Meskipun memiliki kesibukan dengan dunia usahanya, Jojo tidak lupa dengan isu-isu kebudayaan. Memanfaatkan pekarangan rumah, diskusi sering dilakukan dan menjadi tempat nongkrong anak-anak muda, Jojo—pun kemudian dikukuhkan sebagai “Walikota Jakofi”. Meskipun dibeberapa kesempatan, Jojo lebih senang dengan panggilan “Jogis Tidore”. Nama ini dipakai, ketika beliau melakukan launching, karya musiknya yang berlatarbelakang kondisi sosial para nelayan di Maluku Utara.
Awal tahun 2022, Jojo kembali mengajak beberapa teman-teman membentuk “Majelis Jou Barakati”, lembaga religius yang digelar dalam sekali seminggu. Pilihan ini diambil untuk saling mengingatkan kepada sesama umat muslim bahwa “dunia tidak kekal dan kita akan kembali kepada Sang Cipta”. Majelis ini kembali “mati suri” ketika Jojo dipindahtugaskan di pulau Moti.
Majelis Jou Barakati |
Satu bulan bertugas di Moti, Jojo memiliki kesempatan interaksi yang lebih dekat dengan para petani dan nelayan di pulau Moti. Menyaksikan langsung kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang terjadi di pulau Moti. Dalam berbagai perbincangan saya dan Jojo, tampak keseriusan bercokol kuat dalam dirinya untuk melakukan kerja-kerja kebudayaan di pulau Moti. Tidak mengherankan sebab idealisme sebagai pegiat kebudayaan telah membentuknya sedemikian rupa. Melalui diskusi dengan beberapa anak muda Moti, maka disepakti untuk membentuk satu lembaga yang dinamakan Orang Moti/OTI Production untuk mengangkat kembali eksistensi orang Moti dalam panggung literasi.
Pulau Moti
Pulau Moti adalah “salah satu pulau penghasil cengkih”, sepenggal kalimat yang terbentang dalam “Kitab al-‘Adja’ib al-kabir” karya Ibrahim ibn Wasif-Shah. Oleh Imru' al-Qays, seorang penyair Arab pada Abad VI M, mengungkapkan bahwa cengkih yang tumbuh di pulau-pulau eksklusif itu, bila tiba musim angin timur “aromanya akan terbawa sampai ke belahan dunia" (Koehler, J. 202).
Pada abad XIV cengkeh memiliki distribusi paling terbatas dibandingkan dengan produk sayur di pasar. Laporan Fransisco Rodriguez (1512), seorang penjelajah dari bangsa Portugis, mencatat bahwa “empat pulau berwarna biru [dalam peta] yang disebut sebagai Kepulauan Maluku di mana cengkih berasal” (Estas quatro Ilhas Azures suam as de molluquo homde nace ho crauzo). Keempat pulau tersebut adalah Ternaten (Ternate), Tdore (Tidore), Montehien (Moti), Macquinus (Makeang) seperti yang terdapat pada gambar di atas (Pires, T. 1944).
Gambar: Peta Pulau Maluku (Moluques) Tahun 1512. (Sumber: Bellin Map of the Moluccas/MoluquesGeographicus Moluques, Bellin, 1760). |
Sejak sultan Tidore, Al Mansur berkuasa (1475–1526), pulau Moti secara administrasi berada dalam wilayah Kesultanan Tidore dan mentapkan serta menetapkan seorang sangaji di pulau Moti. Ketika Sultan Al Mansur dan Juan Sebastián Elcano (Spanyol) melakukan transaksi jual-beli cengkih di Tidore. Kaicil Amiruddin Iskandar Zulkarnain dan sangaji menuju pulau Moti untuk menghimbau penduduk Moti agar melakukan transaksi jual-beli dengan orang Sopanyol (Denucé, 1942). Selain cengke budo (cengkih putih) dengan kualitas terbaik, Moti juga memiliki daging dan berbagai jenis ikan sebagar yang sangat. Disukai oleh sulyan Al Mansur (Pires, T. 1944).
Peta di atas merupakan peta pertama yang menyebutkan Kepulauan Moluques (Maluku), tempat di mana cengkih berasal dan hanya terdapat empat pulau utama yaitu Ternate, Tidore, Moti, dan Makeang. Bila dibaca dalam kerangka pengertian ‘empat gunung’, nama Maloko Kie Raha sejalan dengan frasa Ternate se Tidore, Moti se Mara Moloku Kie Raha (Ternate dan Tidore, Moti dan Makeang) “dunia empat gunung” (Fraassen,1987).
Kerajaan Tuanane: Antara Realitas dan Mitos
Apa benar Kerajaan Tuanane hijranya ke Jailolo, bagaimana dengan status Kerajaan Jailolo yang diakui sebagai kerajaan tertua di Moloku? Pertanyaan ini sulit untuk dijawab secara akademik karena minimnya sumber primer. Meskipun begitu nama Moti sebagai salah satu kerajaan (Tuanane) pernah eksis dan memainkan peran penring dalam perdagangan cengkih di Maluku (utara). Sayangnya kebesaran dan eksistensi Kerajaan Tuanane hilang ditelan jaman setelah adanya “Perjanjian Moti” atau dikenal dengan “Moti Veerbond 1322”. Bahkan dalam lirik lagu “moloku kie raha yoma fato-fato” (empat pulau berjajar) yang dimaksud adalah Ternate, Tidore, Moti, dan Makeang diubah menjadi “moloku kie raha yoma fato-fato Ternate—Bacan, Tidore se Jailolo”.
Tak hanya dalam lirik lagu, propaganda cerita rakyat secara turun temurun, dan beberapa karya terdahulu ikut melegitimasi dan mengakui bahwa Kerajaan Gilolo (Jailolo) berasal dari Moti. Sumber tertulis yang menyebutkan bahwa Jailolo berasa dari Moti terdapat dalam karya Naidah (1878). Ia menyebut “Madero si jow kolano Ahmad unu tema Moti e-ma hoi isa toma kaha Halmahera e-wosa toma ake Lolo dadi ma-ronga Jailolo”. Artinya “Ketika sultan Ahmad (masih) berada di Moti, ia pindah menuju daratan Halmahera. Ia kemudian menyusuri sungai Lolo dan dari situlah nama Jailolo digunakan sebagai sebuah pemukiman dengan mana kerajaan Gilolo”.
Peristiwa tersebut diperkuat juga dengan pendapat Fraassen, (1979), bahwa “Jailolo adalah Moti, tetapi Moti terlalu kecil untuk kerajaan Gilolo. Dari situ sultan Moti dengan pendukungnya pindah ke Halmahera dan menyusuri sungai Lolo untuk mencari tempat bermukim. Pada saat memasuki sungai itu, sultan mengucapkan: “jai-jai, afa ana riki”. Artinya, “Sungai airnya terlalu deras, kita tak dapat menarik diri”, kemudian sultan dan rombongannya menetap. Dari sungai Lolo inilah kemudian nama Jailolo digunakan dan melekat pada Kerajaan Gilolo. Perpindahan kerajaan Tuanane ke Jailolo menurut Naidah dan Fraassen terjadi pada pada tahun 731 Hijriah, hari kedua dari bulan Safar, tepatnya pada hari Selasa, 16-11-1330 Masehi.
Jika benar apa yang terdapat dalam kedua karya tersebut, bagaimana dengan “Perjanjian Moti 1322”, dimana status Keerajaan Tuanane masih berada di Moti dan sempat menjamu ketiga kolano yang datang di Istanan Tuanane? Kolano Rampala dan kerajaan Tuanane, seolah-olah ditelan jaman setelah “Perjanjian Moti 1322”. Jangan-jangan eksistensi kerajaan Tuanane disingkirkan setelah perjanjian Moti. Nampaknya sejarah Moloku Kie Raha, membutuhkan penulisan kembali terkait dengan eksistensi Kerajaan Tuanane dan Kerajaan Gilolo. Karena dalam “Kroniek Tidore, Kroniek Ternate dan Kroniek Gamkonora” mengakui Kerajaan Gilolo adalah kerajaan tertua yang terdapat di Halmahera. Kerajaan ini pernah memiliki kekuasaan yang kuat baik di bidang politik maupun militer, dan menjadi kerajaan adidaya di kawasan Maluku.
Sprit Baru Orang Moti (OTI)
Moti 1322 Bersuara; “ambe pangayong, hela parahu” akan digelar pada 11-12 Agustus 2023. Kegiatan ini bagian dari kerja kolaborasi yang melibatkan Oti Production, Makin Cakap Digital (MCD), KNPI, POSSI Maluku Utara, media onlien, dan masyarakat Moti pada umunya. Beragai item kegiatan yang akan dilangsungkan di pualu Moti, seperti Konfederasi Sastra Kopitam Orang Moti, Temu Konten Creator dan Talkshow MCD, Launching Oti Production Pemutaran Film, Launching Puisi Sumpah Moloku di Moti, Teater Anak Bangsa, Monolog Kebudayaan, Ziarah Moti bareng Kieraha Offroad, Penanaman Mangrove, Dive Moti Island, Bakti Sosial Bersih Pantai, dan Senam Sehat—tidak lain adalah bentuk kepedulian untuk melihat Moti. Harapannya dari kegiatan ini dapat tersedianya forum dialog kebudayaan bagi generasi muda Moti, sehingga budaya masyarakat Moti tetap terlestari.
Foto Bersama para peserta Dialog Kebudayaan, 2023 |