Sumber: IndonesianaTV. |
Ternate termasuk salah satu kota yang mempunyai keragaman etnis, dan bukti dari keragaman itu adalah permukiman sebagai salah satu hasil fisik kebudayaan. Ketika Ternate di tetapkan sebagai salah "kota kolonial" pada abad XIX, pola pemukiman di Ternate banyak mengalami perubahan. Pemukiman penduduk yang masih belum menyatu atau memusat, diatur sesuai dengan tugas dan perannya. Sebetulnya desakan terbentuknya pemukiman secara parmanen, merupakan kebijakan pemerintah Belanda untuk menata wilayah administrasi untuk kepentingan pajak.
Penataan pemukiman diatur mengikuti pola jaringan jalan dan rumah-rumah penduduk dibangun berbanjar mengikuti jaringan jalan raya. Kebijakan penataan oleh pemeerintah, berpengaruh terhadap perkembangan pemukiman yang berpola segi empat memanjang mengikuti jalanan raya atau pemukiman sudah terpusat. Pemukiman penduduk di Ternate diatur oleh pemerintah Belanda, agar mudah dikontrol. Misalnya para pedagang. Mereka hanya bisa mendiami kampung-kampung di kawasan kota, khususnya di sekitar benteng oranje. Mereka tinggal secara berkelompok dalam perkampungan-perkampungan yang diberi nama sesuai dengan negeri asalnya, sepeti orang Cina, Arab, Makassar, Palembang, Bajo, Buton.
Komposisi masyarakat kota, pada saat itu termasuk pemukiman orang Buton, yang mendiami bagian utara Istana Ternate atas arahan sultan Ternate. Orang Botun yang mendiami wilayah tersebut menamakan kampung mereka dengan sebutan "Koloncucu".
Kalentjoetjoe, Kulincucu, atau Koloncucu adalah nama suatu wilayah sebelah utara Kerajaan Wolio (Bolio) di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara yang menjadi vasal kerajaan Ternate. Nama Koluncucu diadopsi dari nama tempat/wilayah dibagian utara kerajaan Wolio di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara yang menjadi vasal Ternate ( Valentijn, F: 1724).
Dahulu, Kerajaan Wolio merupakan tempat dimana pasukan Ternate sering menyingahi untuk mengisi kembali perbekalan bila melakukan perjalanan menuju pulau-pulau di Nusa Tenggara Barat. Pulau Buton bagi Kesultanan Ternate adalah "pasar" atau dalam bahasa Ternate disebut dengan "butu". Hubungan orang Buton dengan Ternate terjalin semakin erat ketika sultan Marhum (1466-1486), menikahi dengan seorang puteri Buton pada 1465. Sejak terjadinya pernikahan tersebut, putera mahkota Wolio, memiliki status penting dalam politik dan perdagangan di Ternate.
Rumphius, G. E (1983) menyebutkan bahwa, sultan Baabullah Datu Syah (1570-1583) pernah melakukan ekspedisi ke Buton pada tahun 1580 dengan kekuatan pasukan 4 kora-kora. Dalam sumber “Beschrijving en Gesschiedenis van Buton”, disebutkan kekuasaan Baabullah berpengaruh terhadap perkembangan agama Islam di Buton (Ligtvoet, A: 1878), dan punya kesamaan menentang orang Portugis. Berdasarkan catatan P.A. Tiele (1881), semasa perang melawan Portugis, Baabullah mendapat dukungan dan suplai pasukan dari berbagai pulau/wilayah dan teermasuk orang Buton yang mengirimkan pasukan bersenjata sebanyak 350 orang ke Ternate.
Wilayah Buton juga pernah menjadi “titik kumpul” sultan Baabullah dan pasukannya untuk berperang dengan orang Portugis. Dalam perang itu Baabullah dan pasukannya memenangkan perang tersebut. Sebagai bentuk penghormatan orang Buton mengangkat Baabullah kepala suku Buton dan dihormati di sana (Forest, T:1969).
Pada masa pemerintahan sultan Baabullah, kekuasaan kesultanan sangat luas. Wilayah kekuasaannya mencakup sebelah selatan sampai Bima, sebelah barat sampai Makasssar, sebelah timur sampai Banda dan sebelah utara sampai Mindanau (Schrike, B: 1960). Kepulauan Ambon, Seram Barat, dan Buton, juga merupakan wilayah kekuasaan Kesultanan Ternate (Putuhena, M. S: 1997).
Sejarawan Asia Tenggara, Anthony Reid (1993) juga “membernarkan” bahwa ketika Baabullah berkuasa, ia kemudian melakukan aneksasi wilayah Tobungku, Tiworo, dan Wolio (Butun/Botun), Ambon, Selayar, dan kerajaan liannya di pantai utara Sulawesi dan menyebarkkan agama Islam di wilayah itu. Sejak saat itu Buton berada dalam “pengaruh” Kesultanan Ternate. Susanto Zuhdi (2018) memperkuat pernyataan ini dengan menyatakan bahwa hubungan antara Buton dengan Ternate sudah terjalin sejak Islam mulai dianut oleh orang Buton. Bentuk pengakuan secara kultural orang Botun kepada Ternate, seperti yang tertulis pada ungkapan tradisional orang Buton sebagai berikut.
taoyakamo zamamina ncili-cil
akemba kita beta pene ajumaa
itaranate sajumaa sajumaa
asukaramo sabara miya ogena
tuaapamo beta pane tajumaa itaranate
inkita daangiapo dala
jumaa alapasimo akonimo
sangia ncili-cili oma-anana
betapene tajumaa itaranate
sajumaa-sajumaa beta pujimo Taranate
karena itu zaman sultan La Tumpamana
memangil kita pergi berjumat
di Ternate tiap-tiap Jumat
gelisah segala pembesar negeri
bagaimana kita pergi berjumat di Ternate
kita sementara masih di perjalanan
Jumat sudah selesai berkatalah
Sultan La Tumpamana artinya
Kita pergi berjumat di Ternate
Tiap-tiap jumat kita memuji sultan-sultan Ternare.
Ungkapan tradisional orang Buton di atas menegaskan bahwa pernah terjalin hubungan politik, ekonomi, dan agama antara orang Ternate dengan Buton.
Selain pernikahan yang terjadi pada 1465. pernihakan juga terjadi ketika memerintahnya Sultan Mandar Syah (1648-1672). Ia juga menikahi seorang puteri Buton, Boki Wa Tampaidongi pada 1652 (Valentijn, F: 1724). Pernikahan tersebut membuat status orang Botun di Ternate sangat dihormati, bahkan memiliki hak istimewa bila mereka melakukan shalat di Masjid Kesultanan Ternate. Orang Botun diperbolehkan mengunakan sarung dalam melakukan shalat yang tidak boleh digunakan oleh jemah atau orang lain (Zuhdi, S, dkk: 2019). Selain mendapat hal yang istimewa di masjid, orang Buton juga diijinkan membuat pemukiman sendiri yang dimakanan Koloncucu sebagai bentuk penghargaan sultan Ternate kepada orang Botun (sebaliknya).
Meskipun keberadaan orang Buton di Ternate sejak tahun 1465. Pemukiman orang Botun di Ternate secara parmanen dibentuk pada tahun 1820 atas kebijakan kesultanan Ternate.
Semasa menjabatnya Residen J.H. Tobias di Ternate. Ia menemukan ada sekitar 1000 orang yang mendiami kampung Koloncucu dan sebagian besar adalah perempuan. Dahulu perempuan-perempuan Koloncucu bekerja sebagai penenun, rapi dino (kain tenun) atas kepentingan sultan dan para bangsawan Ternate. Pesanan-pesanan rapi dino yang sering dibuat adalah kain polos berwarna merah, kuning, dan hijau (Visser, L. E: 1989a). Selain itu, warna, pola, dan motif kain harus ditentukan oleh kalangan istana untuk membedakan status sosial para bangsawan.