-->

Menelik Sejarah Payung Kolano

Editor: Irfan Ahmad author photo

Pertemuan Sultan Tidore, Al Mansur dan Kapten Elcano di atas kapal Victoria dari Spanyol. (Sumber: Ilustrasi Verne Jules, 1882)

Payung memiliki sejarah panjang yang mencerminkan perubahan sosial, budaya, dan teknologi. Dari simbol kekuasaan dan status di peradaban kuno hingga aksesori praktis dan modis di era modern, payung terus menjadi bagian penting dari kehidupan manusia.


Payung pertama kali tercatat dalam sejarah Mesir Kuno sekitar 4000 tahun yang lalu. Payung pada masa itu digunakan sebagai simbol status sosial dan kekuasaan. Payung di Mesir Kuno biasanya dibuat dari daun palem atau buluh dan dilapisi dengan kain. Di Tiongkok payung ditemukan sekitar 2000 tahun lalu. Payung di Tiongkok awalnya terbuat dari kertas yang diolesi dengan minyak untuk membuatnya tahan air (baca sejarah payung). 

 

Di Indonesia penggunaan payung dibuktikan pada panel relief Candi Sukuh, Karanganyar, Solo. Tampaknya, menggunakan payung adalah simbol religius, status kekuasaan, dan hanya digunakan raja dan bangsawan.

Pahayatan payung pada relief Candi Sukuh (Sumber:  M. Dwi Cahyono).


Status payung di kesultanan
Paju kolano (payung sultan) di Maluku Utara pertama kali terdokumentasi oleh Antonio Pigafetta, pada 9 November 1521. Dokumentasi itu dilakukan saat pertemuan Sultan Tidore, Al Mansur (1512-1526) dan Juan Sebastian de Elcano di atas Kapal Victoria. Pigafetta adalah orang yang pertama kali membuat sketsa payung milik sultan Tidore. Dalam catatan hariannya, Pigafetta menuliskan seperti berikut ini:

Pada saat sultan Al Mansur naik ke kapal Victoria, ia menggunakan jubah putih buatan Turki, kepalanya dililit dengan sepotong kain sutra yang berhiasan bunga. Bersama anak lelakinya, membawa sebuah tongkat kerajaan, dua orang pembawa guci emas (tempat air sultan), dua orang membawakan tempat sirih-pinang yang berbalut emas, satu orang pembawa payung yang terbuat dari kain sutra untuk melindungi sultan dari panas (Denuce, J. 1911).

Dahulu, fungsi payung bukan hanya sebatas melindungi diri dari cuaca. Namun, payung memiliki kedudukan sosial yang dilekatkan pada sultan dan bangsawan dan tidak semua orang boleh memiliki payung. Bahkan anak sultan dan anak bangsawan tidak berhak mengunakan payung dalam situasi apapun. 

 

Antonio Galvao, Gubernur Portugis (1537-1540) dalam karyanya yang berjudul "Historia das Molucas", juga menarasikan payung yang digunakan oleh sultan. Dalam narasinya Galvao menjelaskan: 

Cara berbusana mereka menyerupai orang Melayu. Busana pesta mereka terdiri atas kain sutera atau katun, sangat rumit dan dibordir sekelilingnya dengan benang emas, satin, beludru, kain wol, terbuka di depan dengan kancing emas. Untuk penutup kepala, mereka menggunakan mahkota (sultan) dari emas dan destar (bangswan). Ketika penguasa (sultan) bepergian mereka akan menggunakan payung yang terbuat dari kain sutra Cina (Jacobs, H. 1971). 

Tampkanya payung telah lama menjadi simbol dan status kekuasaan bagi sultan dan bangsawan di Maluku Utara. di Kesultanan Ternate, hanya sultan yang berhak mengunakan paju guraci (payung kuning) dalam upacara kesultanan.

 

Pengunaan payung di Ternate juga terdokumentasi saat kunjungan  Francis Drake di Ternate pada November 1579. Pada saat kunjungan tersebut, rombongan Francis Drake, sempat melihat kebesaran sultan Baabullah Datu Syah (1570-1583) melakukan ritual keagaman dan menuju sigi lamo mengunakan payung yang terbuat dari kain sutra dan emas. 

Sultan Baabullah mengunakan payung menuju sigi lamo (Sumber: de Bry, J. T. 1560-1623) 

Sampai pada abad pertengahan, payung termasuk bagian dari pakaian yang diletakkan pada sultan. Payung sebagai simbol, tinggi rendahnya status di mata rakyat yang dibedakan oleh panjang tangkai payung yang dikenakan. Payung dengan tangkai yang paling panjang adalah milik sultan sebagai simbol kekuasaan.

 

Naidah dalam “Hikayat Ternate” memberi keterangan bahwa, pada suatu waktu ketika pertemuan empat sultan Maluku berkumpul di Fitu, Ternate. Ada kesepakatan simbol yang diletakkan di empat payung milik sultan dan status fala raha. Dalam pertemuan itu, Marsaoli memakai payung sultan Ternate, Limatahu menerima dan memakai payung sultan Tidore, Tomagola meneriman dan memakai payung sultan Jailolo dan Tomaito meneriman dan memakai payung dari sultan Bacan. Empat payung dari empat sultan memiliki simbol empat gunung (Moloku Kie Rara) dan empat payung sebagai simbol yang hanya digunakan oleh sultan. Sementara fala raha sebagai pembawa empat payung juga berkaitan dengan empat kerajaan di Maluku (Crab, P. van der.1878).

 

Padbrugge ketika berada di Ternate pada 1682. Ia menemukan sultan Ternate, Tidore, Jailolo, dan Bacan memiliki payung sebagai simbol kekuasaan mereka dan hanya sultan Ternate yang memakai empat payung. Para bangsawan Ternate menyampikan kepada Padbrugge bahwa sultan Ternate diberi kewenangan memakai tiga payung tambahan karena Bacan, Jailolo dan Tidore dikalahkan oleh Ternate. Maka empat payung sultan Ternate, mewakili empat kerajaan di Maluku. Namun Padbrugge meragukan pernyataan para bangsawan itu, dan memberi kesimpulan bahwa empat payung itu bukan mewakili empat kesultanan Maluku tetapi empat klan, fala raha (Fraassen, Ch. F. van.1987)

 

Dalam catatan harian Residen Ternate F. S. A de Clercq (1890) ketika menghadiri acara yang dilangsungkan di kesultanan Ternate, ia mendapati fala raha memakai payung dalam upacara adat. Dahulu, klan fala raha memiliki hak penuh sebagai pembawa payung sultan. Clercq,  juga dengan tegas menyebutkan bahwa, empat payung milik sultan adalah bagian dari simbol fala raha yang dipakai saat upacara pelantikan sultan Ayanhar (1879). Empat payung milik fala raha itu sewaktu-waktu bisa digunakan untuk urusan kesultanan. 

Sultan Usman Syah mengunakan payung di depan Istana Ternate (Sumber: Koleksi Busranto Latif).

Dahulu, payung merupakan barang mewah dan pernah menjadi hadiah yang sangat berharga. Pemberian payung emas pernah dilakukan oleh Gubernur Portugis, d’Ataide kepada Katarabumi (Amal, M.A. 2010). Payung emas juga pernah dimiliki oleh Sultan Ternate, Muhammad Usman Syah (1902-1914) dan dibawa ke Bandung ketika dirinya diasingkan oleh pemerintah Belanda.

Payung yang digunakan sultan Iskandar Muhammad Djabir Syah, 1929 (Sumbeer: Koleksi Ahmaddeny Tuela)

Payung memiliki sejarah yang panjang dan senantiasa menguntit perjalanan hidup manusia dengan pemaknaan yang berlainan dalam setiap zaman. Meskipun payung masih menjadi simbol status dan kekuasaan dalam upacara kesultanan dan keagamaan. 

 

Revolusi industri membawa inovasi dalam pembuatan payung. Payung sudah menjadi kebutuhan sebagai pelindung dari cuaca dan aksesori fesyen. Desain payung yang unik dan menarik sering menjadi bagian dari tren mode. Desain payung lipat diperkenalkan, membuatnya lebih praktis dan portabel. Payung modern menggunakan bahan-bahan seperti plastik, logam ringan, dan kain sintetis. Desain payung terus berkembang dengan berbagai bentuk dan ukuran, termasuk payung otomatis yang dapat dibuka dan ditutup dengan satu tombol. Bahkan di pasar-pasar tradisional terdapat anak-anak yang menjual "jasa payung" ketika terjadi hujan turun. 

Share:
Komentar

Terkini