Benteng de Briil, 1920 (Sumber: Koleksi Ahmaddeny Tuela) |
Saat mendengar kata “Benteng”, salah satu hal yang akrab terlintas di benak erat berkaitan dengan monopoli rempah (cengkih) oleh penjajah. Hal ini bisa benar, atau sebaliknya, keliru. Kelirunya bisa jadi bila mengacu pada tujuan awal pembuatan benteng. Khusus di Maluku Utara, misalnya, benteng dibangun dengan tujuan untuk memperkuat jalur perekonomian kolonial, baik itu pihak Portugis, Spanyol, maupun Belanda. Ini dapat dilihat pada lokasi di mana benteng dibangun, yang hampir semuanya ditempatkan pada lokasi strategis: jalur perdagangan. Bagi militer Eropa, benteng juga dibangun untuk maksud pamer kekuatan mereka. Benteng menjadi tempat pertahanan sewaktu dalam peperangan.
Memang, benteng tak bisa dilepaskan sepenuhnya dari wacana rempah juga. Banyaknya tinggalan bangunan bersejarah serupa benteng, dapat dikatakan sebagai ‘tinggalan’ upaya saling rebut bangsa-bangsa Eropa atas kepulauan Maluku.
Maluku, atau Maluku Utara saat ini, mempesona bagi bangsa-bangsa asing. Tidak hanya karena keindahan gugusan pulau-pulaunya, melainkan juga kekayaan alamnya, salah satunya berupa cengkih. Harumnya cengkih mengundang bangsa-bangsa Portugis, Spanyol, Inggris, dan Belanda (VOC) untuk datang menjajah dan mempertahankannya mati-matian agar tetap menguasai komoditi rempah terbaik dunia kala itu. Harga buah cengkih kala itu lebih mahal daripada emas karena memiliki berbagai khasiat dan mengangkat status sosial seseorang bagi yang mengkonsumsinya.
Hingga bangsa-bangsa penjajah ini meninggalkan kepulauan Maluku, banyak jejak yang tetap bertahan dan masih dapat dijumpai hingga kini. Selain benteng, berbagai budaya Eropa (budaya mestizo) berakulturasi dengan budaya masyarakat tempatan (indigenous people) di kepulauan ini. Dalam konteks event jalur rempah yang bergulir saat ini, seharusnya hal ini menjadi perhatian penting juga.
Pulau Obi dan Benteng de Briil
Dalam lintasan sejarah, Kepulauan Obi juga memiliki peran tersendiri. Menurut Valentijn (1724), Obi sudah dikenal pada tahun 1322 dan berada di bawah rajanya sendiri. Meskipun ia tidak pernah mencapai status yang sama seperti empat kerajaan yaitu Ternate, Tidore, Bacan, Jailolo, akan tetapi, anak-anak dari bangsawan kerajaan Obi menikah secara teratur dengan Ternate (Andaya, L. Y. 1993).
Ketika Pulau Obi menjadi bagian dari Kesultanan Bacan, utusan yang memerintah di Obi adalah seorang Ngofamanjira. Namun, setelah Perjanjian Bungaya pada 1667, Pulau Obi disebutkan menjadi “bagian pinggiran” Kesultanan Ternate yang dikuasai oleh keluarga Tomagola dan Tomaitu.
Pulau Ob(y)i (Sumber: QJP, 2023)
Hingga abad XIV, Kepulauan Obi tidak ditumbuhi pohon cengkih. Pada tahun 1671, VOC menginginkan orang Belanda dan pribumi untuk membudidayakan pohon cengkih di Obi. Alasan utamanya adalah untuk mencegah pedagang Eropa lainnya mengumpulkan rempah-rempah di pulau-pulau ini. Namun, niat itu gagal. Pada 1672, Belanda mencoba berunding dengan Sultan Bacan dengan maksud membangun benteng di Obi. Setelah pecahnya Perang di Eropa, yang melibatkan Republik Belanda, Perancis, dan Inggris, pulau Obi diduduki oleh VOC. Gubernur Jenderal Joan Maetsuyker (1653-1678) memberi tahu Sultan bahwa pendudukan itu adalah tindakan sementara saja, untuk mencegah Inggris menduduki pulau itu. Gubernur Maluku, Cornelis Francs (1672-1674), memerintahkan membangun benteng kayu kecil di pantai barat Obi pada 1674. Benteng itu diberi nama “Fort de Bril” (sumber lain menyebut Fort den Briil). Setelah benteng itu dibuat, Gubernur Cornelis Francs menempatkan 24 orang garnisun (van de Wall, 1928).
Selanjutnya, pada 1677, pihak VOC menyempurnakan Benteng de Briil menggunakan beton dengan batu sebagai bahan utamanya dari sebelumnya yang dibangun menggunakan kayu.
Pada 1679 pihak VOC menyewa Pulau Obi dari pihak Kesultanan Bacan dengan biaya tahunan sebesar 420 real. Sultan Alawadin II dari Bacan mengusulkan agar dia menjual pulau-pulau itu kepada mereka, karena pulau-pulau itu tidak berharga baginya. Pada tahun yang sama, Sultan Bacan, Alawadin II, menyewakan Kepulauan Obi kepada pihak VOC. Kepulauan itu akhirnya dijual Sultan Alawadin II kepada VOC senilai 700 real pada 1682.
Benteng yang dibangun di pantai Barat Pulau Obi, menurut W. Ph Coolhas (1923), untuk maksud mempertahankan monopoli cengkih di Maluku. Posisi benteng ini dinilai strategis karena dapat memantau kapal-kapal VOC yang melintas menuju Laut Banda. Dari atas de Briil, VOC dapat memantau langsung kapal-kapal yang datang dari arah Laut Bacan, Sula, dan Laut Banda.
Benteng batu ini didesain sebagai benteng pertahanan sekaligus pengintai bagi orang Belanda. Pada tahun 1733, benteng de Briil menarik perhatian Spanyol. Mengetahu hal ini, pihak Belanda langsung mengirimkan sejumlah garnisun ke Pulau Obi dan melakukan patroli laut. Ketika angin muson timur laut, rute pelayaran akan dilakukan melalui Pulau Obi ke Seram, kemudian ke Samudra Pasifik melalui bentangan antara Batanta dan Salawati (Andaya, L.Y. 1993). Dengan kondisi ini, Pulau Obi menjadi penting kala itu.
Benteng de Briil: Situs CB di Kawasan Pertambangan PT. Harita Group
Delapan belas tahun lalu, tepatnya 2007, Saya menjadi enumerator pada penelitian yang dilakukan oleh Pusat Dokumentasi Arsitektur (PDA) Jakarta. Selama pendokumentasian cagar budaya di Pulau Obi, kondisi benteng de Briil saat itu sangat memprihatinkan. Hanya beberapa bagian situs benteng yang masih dapat disaksikan.
Reruntuhan Benteng de Briil (Sumber: Komunitas Matahati Ternate, 2007)
Seiring waktu, kehadiran Balai Pelestarian Cagar Budaya, BPCB (saat ini BPK: Balai Pelestarian Keebudayaan), Maluku Utara berdampak positif bagi keberlangsungan situs penting di daerah ini. Berbagai benteng, termasuk de Briil, mendapat perhatian khusus dengan disiplin bidang ilmunya masing-masing terutama kajian Arkeologi. Informasi tentang Benteng de Briil yang selama ini tidak diketahui oleh sebagian besar masyarakat, kini bisa diakses di kantor yang dibawahi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tersebut.
Benteng de Briil adalah salah satu dari sekian banyak Cagar Budaya (CB) di Maluku Utara. CB sebagai hasil tinggalan budaya manusia masa lalu, penting bagi pengetahuan sejarah dan budaya serta pengembangan ilmu pengetahuan yang tertuang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 11 tahun 2010 tentang Benda Cagar Budaya. Dalam Pasal 81 ayat (1) UU ini ditegaskan bahwa setiap orang dilarang mengubah fungsi ruang Situs Cagar Budaya dan/atau Kawasan Cagar Budaya peringkat Nasional, Provinsi atau peringkat Kabupaten/Kota, baik seluruh maupun bagian-bagiannya, kecuali dengan izin Menteri, Gubernur, Bupati, Wali Kota sesuai dengan tingkatannya.
Kehadiran PT. Harita Group merupakan perusahaan pertambangan yang resmi mengelola kawasan tambang yang terletak di Kawasi, Pulau Obi, Kabupaten Halmahera Selatan. Tambang dan benteng (situs CB) adalah dua hal yang wajib dijaga keberadaan dengan fungsinya masing-masing. PT. Harita Group tidak dapat dilarang kehadirannya, sepanjang masih memperhatikan satuan ruang geografis, landskap budaya asli dan permukaan tanah situs, yakni Benteng de Briil. Semua aktivitas perusahaan, apalagi menggunakan alat-alat berat, harus benar-benar memastikan keselamatan de Briil. Sejauh Saya tahu tentang perusahaan ini, mereka masih patuh pada regulasi terkait CB.
CB dalam Rencana Induk PPM PT. Harita Group
Rencana Induk adalah adanya pedoman perencanaan atau program tahunan yang dibuat untuk menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pengawasan program agar terukur, terarah, tepat guna, dan tepat sasaran.
Melalui Kepmen ESDM Nomor 1824 K. 30 MEM 2018 paling tidak memuat dua poin utama, yaitu Pedoman Penyusunan Cetak Biru (Blue Print) PPM dan Pedoman Penyusunan Rencana Induk PPM yang mesti dirujuk oleh perusahaan pertambangan sehingga program PPM yang dijalankan bisa lebih terukur, terarah, tepat guna dan tepat sasaran.
Dengan terbitnya peraturan ini, diharapkan program PPM yang dijalankan bisa lebih terarah, terukur, tepat guna dan tepat sasaran dengan mengacu pada Cetak Biru PPM Provinsi Maluku Utara yang memuat 8 (delapan) aspek yaitu (1) Pendidikan, (2) Kesehatan, (3) Tingkat pendapatan riil atau pekerjaan, (4) Kemandirian ekonomi, (5) Sosial dan Budaya, (6) Lingkungan, (7) Kelembagaan komunitas, (8) Infrastruktur. Program yang disusun mulai fase operasi produksi sampai dengan program untuk fase penutupan tambang.
Jika ditelisik lebih dalam dokumen Blue Print PPM Pertambangan di Maluku Utara, maka jelas dikatakan bahwa perusahaan pertambangan, dalam hal ini PT. Harita Group, seharusnya menjadikan de Briil sebagai perhatian penting dalam RIP PPM mereka. Untuk memastikan keselamatan situs ini, maka upaya-uapaya pendokumentasian, revitalisasi, dan pelindungan cagar budaya (Benteng de Briil) mutlak dilakukan sebagai bagian dari aspek Sosial dan Budaya kehidupan masyarakat di sana. Hal ini dilakukan demi pengembangan ilmu pengetahuan, sebagaimana tertuang dalam UU CB No.11/ 2010.