![]() |
Salah satu makam di wilayah Nyiha Mara, Mareku. (Dokumentasi; Sofyan Togubu) |
Pembentukan kampung dengan berbagai fungsi seperti yang telah dijelaskan sebelumnya tidak kalah menarik dengan pembentukan kampung Rum sebagai "kampung pertahanan" kesultanan Tidore. Dahulu, kampung Rum berfungsi sebagai pertahanan pertama terhadap serangan musuh dan mereka juga menyediakan pasukan cadangan yang bisa dimobilisasi kesultanan Tidore saat diperlukan.
Kampung Rum
Rum adalah kampung sekaligus nama salah satu kelurahan di Kota Tidore Kepulauan, Provinsi Maluku Utara. Nama Rum memiliki dua versi cerita: Pertama, kata “rum” diambil dari Al Qur’an, surah Ar-Rum ayat 30. Penamaan ini mulai digunakan ketika Kaicil Rade menjabat sebagai perdana menteri mendampingi Sultan Tidore, Amiruddin Iskandar Zulkarnain (1526-1535). Saat menjabat sebagai sultan, Amiruddin Iskandar Zulkarnain masih dibawa umur dan menyerahkan kekuasaan penuh kepada Kaicil Rade ± 3 tahun. Kaicil Rade adalah panglima perang sebelum sebelum menjabat sebagai perdana menteri. Ia sangat disegani penguasa Spanyol, Portugis, dan Ternate karena memiliki pengalaman berpeerang baik di laut dan darat. Memiliki beberapa prestasi yang gemilang dan salah satunya pernah memimpin pasukan Tidore sebanyak 5.000 prajurit menyerang Portugis—Ternate dan memenangkan peperangan itu (J, Hubert, 1971).
Berdasarkan pengalaman strategi perang serta memiliki pengetahuan ajaran agama Islam yang baik. Kaicil Rade memberikan nama pasukannya sebagai “pasukan rum”. Pemberian ini, ketika pasukannya dipukul mundur oleh Portugis-Ternate pada 1525. Kekalahan ini membuat Kaicil Rade dan pasukannya merasakan penyesalan, kesedihan, dan kekecewaan yang luar biasa karena terjadi satu hari setelah pemakaman Sultan Al-Mansur dan harus meninggalkan ibukota kesultanan Tidore di Mareku dan kembali ke Seli untuk kedua kalinya (Garcia, 1992).
Pemberian nama "rum" yang dilakukan oleh Kaicil Rade dengan harapan pasukannya memiliki semangat juang yang tinggi dan menjadi garda terdepan Kesultanan Tidore untuk menjemput kemenangan kembali, seperti bangsa Romawi Timur. Pasukan Rum "racikan" Kaicil Rade adalah orang-orang pilihan, berani mati demi kejayaan dan mempertahankan marwah kesultanan Tidore. Sebagai garda terdepan, Kaicil Rade menempatkan pasukan tersebut berdampingan dengan Pelabuhan Tidore (kawasan Balibunga; Kampung Rum saat ini) berhadapan langsung dengan Pelabuhan Talangame. Strategi ini dipakai karena hampir semua penyerangan yang datang dari Ternate melalui pelabuhan Talangame. Oleh karena itu, strategi penempatan pasukan rum ini agar mengetahui lebih duluan sehingga dapat menghalau penyerangan ke ibukota, istana sultan.
Kedua, nama “rum” diambil dari nama salah satu benteng Portugis, yaitu Benteng Roem yang dibangun pada tahun 1605. Benteng ini berada di sebuah bukit curam di pantai barat laut Pulau Tidore (Djafaar, I. A, 2007). Kemungkinan besar, nama Rum di ambil dari kata “Roem”. Dugaan ini, karena kebiasaan masyarakat Maluku Utara memberi nama tempat sesuai dengan apa yang terdapat di sekeliling mereka seperti nama jenis pohon, jere, benteng, dan peristiwa yang terjadi di tempat tersebut (baca Soa-Sio, Kalumata, Tolluco, Bastiong, Kastela, Takome, Talangame).
Benteng Roem, 1920 (Sumber: KITLV) |
Jejak Pemukiman Rum
Kampung Rum yang saat ini ditempati masyarakat adalah proses pemindahan yang kelima kali dan bertahan sampai saat ini. Para tetua di Rum meyakini bahwa pemukiman tua (kampung awal) berada di sebuah Talaga (saat ini disebut Talaga Rum). Kampung ini pertama kali didirikan oleh salah satu soa (marga), yang berasal dari Seli. Menurut Salim Tuguira (63), dari kesembilan marga yang ada di Seli, ada satu marga yang hilang yang disebut “Lum Sira”. Kata “hilang” yang dimaksud adalah pergi meninggalkan kedelapan marga yang ada di Seli dan membuat pemukiman baru dengan keluarganya.
Keterangan di atas juga disampaikan oleh Abubakar Senen (70) bahwa marga yang hilang tersebut adalah leluhur dari “Fola Simo” yang berasal dari Seli, yaitu Momole Suara. Momole Suara—inilah yang bermukim awal di Tagala dan mengaktifkan “Fola Simo” di Talaga yang awalnya berada di Seli. Tidak diketahui berapa lama Momole Suara mendiami Talaga tersebu, akan tetapi jejak atau bekas pemukiman, makam (tua), dan “Jere Momole Suara” masih terlihat sampai saat ini.
![]() |
Jere Nyiha di Sirongo Folaraha. (Dokumentasi; Sofyan Togubu) |
Pemukiman tua di Talaga Rum, kemudian ditinggalkan setelah salah satu anak dari Momole Suara menjadi Kolano Tidore ke—4, yaitu Kolano Balibunga. Pemukiman di Talaga dipindahkan ke “Gale Mauli” (turun dari arah Talaga ± 7 Km). Perpindahan ini agar pemukiman tersebut tidak terlalu jauh dengan pusat kekuasaan yang saat itu berada di Seli, saat itu. Sumber lain menyebutkan bahwa pusat kekuasaan Kolano Balibunga saat itu sudah berada di pesisir (wilayah PLTU). Akan tetapi, sumber ini masih perlu diteliti lebih lanjut karena, pusat kekuasaan di Tidore pertama kali berada di pesisir dibawakan oleh Sultan Al Mansur (1512-1526) dan bertakhta di Kadato Sela Waringin, Mareku.
Dalam catatan Amin Faaroek (2016) yang bertajuk “Jejak Sejarah Kesultanan Tidore”. Ketika masa pemerintahan Sultan Ciriliyati/Djamaluddin (1495-1512). Pusat kekuasaan Tidore masih berada di Seli. Meskipun demikian, sultan telah mengutus beberapa perangkat kesultanan Tidore ke wilayah Weda, Patani, Maba, dan Papua untuk melakukan perdagangan, menyebarkan Islam, serta meluaskan wilayah kekuasaan kesultanan Tidore.
Sultan Ciriliyati juga menempatkan pasukan kerajaan dari “Fola Simo” yang dipimpin oleh Kapita Basiama dan menempati wilayah pesisir dan menamkan wilayah Balibunga. Penempatan wilayah tersebut karena wilayah itu adalah salah satu pelabuhan dagang terbaik milik kesultanan Tidore yang berhadapan langsung dengan Pelabuhan Talangame, Ternate. Faktor ekologi dan kapal dapat berlabuh dengan aman, terlindung dari ombak besar, angin, dan arus. Selain itu, pelabuhan ini diapit oleh tebing dibagian utara, pulau Maitara dibagian selatan, dan pulau Ternate di barat. Sehingga sangat strategi untuk melakukan kontak perdagangan dengan para saudagar, dan manufer dalam penyerangan bila terjadi peperangan.
Menurut Badar Taib (70) dan Abubakar Senen (70), meskipun Tidore saat itu, memiliki tempat yang strategi, dalam beberapa peristiwa pasukan kesultanan Tidore mengalami kekelahan bila terjadi peperangan dengan para perompak, seperti yang dialami oleh Kapita Basiama. Basiama pernah gagal membentengi serangan dari para perompak pada 1504. Bukan saja mengalami kekalahan, beberapa penduduk yang menempati wilayah pelabuhan ditangkap termasuk anaknya, “Simo Tu”.
Setelah peristiwa yang memiluhkan itu, pasukan “Fola Simo”, kembali meninggalkan wilayah Balibunga dan menempati pemukiman yang telah dibentuk sebelumnya, “Gale Mauli”. Tidak ada ketarangan tertulis berapa lama wilayah itu ditempati oleh anak cucu dari Kolano Balibunga serta “Fola Simo”. Dari tempat ini, kemudian mereka berpindah tempat dan membuat satu pemukiman baru yang dinamakan “Fola Raha”. Meskipun di kawasan “Fola Raha” banyak meninggalkan bekas pondasi hunian (susunan batu), makam tua, dan jere. Tampaknya wilayah ini masih satu kawasan dengan “Gale Mauli”, kemungkinan besar wilayah “Fola Raha” adalah rumah ritual bagi “Fola Simo”, waktu itu.
![]() |
Salah satu Makam leluhur orang Rum yang berada di Sigi Mareku. (Dokumentasi; Sofyan Togubu) |
Setelah Sultan Al Mansur bertakhta (1512-1526) di Istana Selawaringin, Mareku. Anak, cucu Kolano Balibunga dan “Fola Simo” kemudian membuat pemukiman baru yang disebut “Nyiha Mara” (dekat lapangan Mareku saat ini). Penempatan ini diprakarsai oleh Sultan Al Mansur. Karena wilayah Mareku sangat besar saat itu dan menempatkan dua sangaji, yaitu Mareku Loa Hako/Laho (bawah) dan Mareku Loa Isa/Laisa (atas) atau Mareku Atas dan Mareku Bawah yang dipimpin oleh masing-masing sangaji (de Clercq, F. S. A, 1890). Sejak saat itu, pemukiman “Nyiha Mara” secara administrasi masuk dalam wilayah sangaji Loa Isa.
Pemukiman “Nyiha Mara” kembali ditinggalkan ketika penyerangan dan peperangan di Mareku. Setelah berkuasanya Sultan Amiruddin Iskandar Zulkarnain dan atas kebijakan Kaicil Rade menempatkan "pasukan tum" sejak tahun 1525-1530—di wilayah Balibungga sebagai pasukan elit dan garda terdepan Keesultanan Tidore. Hingga terbentuknya kampung secara parmanen dan bertahan sampai hari ini.