-->

Mare se Majarita

Editor: Irfan Ahmad author photo


Pulau Mare merupakan salah satu pulau yang dihuni etnik Tidore. Tidak diketahui secara pasti, sejak kapan pulau ini dihuni. Namun beberapa tokoh masyarakat meyakini bahwa keberadaan orang Tidore di pulau Mare jauh sebelum masa pemerintahan Kolano Syahjati atau sultan Muhammad Naqil (1081). 


Menurut masyarakat setempat, nama Mare asal kata dari kata ’more’, bahasa Tidore. Secara etimologi ”mo” adalah kata ganti ”dia perempuan” dan ”re” artinya ”di sini”. Jadi "more” dapat diartikan ”dia perempuan yang berada di sini (pulau ini)”. Diyakini oleh masyarakat bahwa ”more” adalah sosok perempuan pertama yang menemukan atau membuat gerabah di pulau (Mare). Sebagai penghormatan kepada sosok perempuan tersebut maka pulau ini kemudin dinamakan Mare, karena tidak diijinkan/larangan penyebutan nama leluhur secara langsung (boboso). 


Dikisahkan bahwa, awalnya penduduk Mare terdiri dari tiga soa (klan) yang mendiami perbukitan yang dinamakan Fola Igo, Fola Tuhila Solo, dan Fola Sayare. Ketiga klan ini dipimpin oleh Fola Igo. Sejak mendiami pulau Mare, mereka hidup damai dan tentram, namun hasil pertanian mereka sering dirusaki babi hutan. Suatu ketika kepala klan dari  Fola Igo melihat ke laut, ada gerombolan burung laut terbang berkumpul mengitari Pasi Todoa. Melihat keanehan yang terjadi, maka Fola Igo mendatangi Pasi Todoa mengunakan perahu dan melihat seorang lelaki yang sedang bermain dengan sahabatnya, ikan lumba-lumba. Ikan tersebut diyakini yang membawakan lelaki itu sampai ke Pasi Todoa. Melihat keajaiban tersebut, dalam hati Fola Igo—orang ini memiliki ilmu dan baiknya diajak untuk mengatasi babi yang merusaki tanaman mereka.    

Rumah ikan lumba-lumba di Kahia Masolo, Mare.

Pemimpin dari Fola Igopun bercerita tentang banyaknya babi dan mengajak naik ke darat. Ketika kaki kanan menginjak daratan, babi hutan pun mati. Beberapa hari kemudian kawanan rusa datang ke pulau tersebut. Lelaki ini kemudian di kenal dengan sebutan Ing Kaimoi. Pemberian nama ini karena lelaki tersebut hanya memiliki satu gigi utuh pada rahang atas dan satunya pada rahang bawah. Setelah beberapa hari mendiami pulau itu, Ing Kaimoi memperkenalkan agama Islam kepada penduduk setempat dan menyampaikan bahwa;


‘ngori nena moru malo, to tomo-tomo, to mote-mote doro se pasi’

Terjemahan: ‘bersusah paya saya datang dari jauh membawakan satu pesan untuk keselamatan’. 

 

Tempat yang jauh diyakini berasal dari Irak dan membawakan pesan untuk sebarkan agama Islam pada penduduk yang dia temui. Setelah ketiga klan tersebut memeluk Islam, Ing Kaimoi kemudia menikah dengan anak perempuan (perempuan pembuat gerabah pertama) dari klan Fola Igo. Ing Kaimoi pun mengajak masyarakat untuk mendiami pesisir pantai dan membuat pemukiman baru yang dikenal dengan Mare Gam (kampung Mare). Dari hasil perkawinan itu, kemudian memiliki turunan yang dikenal dengan klan Lebedoe, klan inilah sampai sekarang menyimpan sebuah ”kitab bertulisan arab gundul” yang bawakan oleh Ing Kaimoi dari Irak.

Ziarah Jere Ing Kaimoi, Mare.

Gerabah Mare

Pulau Mare terkenal dengan produksi gerabah sebagai sumber pendapatan utama. Sekalipun telah lama melakoni aktivitas pengarajin gerabah, baru pada masa memerintahnya Sultan Saifuddin atau Jou Kota (1657-1674), pulau Mare ditetapkan sebagai pulau pemasok gerabah. Gerabah kemudian diproduksi secara berkala, dan terkordinasi dengan pihak kesultanan. 

Bersama tokoh masyarakat Mare.

Dahulu, selain diproduksi untuk kebutuhan pihak kesultanan, bangsawan, dan masyarakat Tidore. Gerabah juga diperkenalkan/jual sampai ke Halmahera, Papua, Seram, dan wilayah kekuasaan sultan Tidore beriringgan dengan mengenalkan agama Islam. Itulah kenapa yang menjual gerabah diwajibkan hanya laki-laki karena terkait dengan dakwah. Meskipun begitu, ada mitologi yang tidak diperbolehkan laki-laki dalam memproduksi gerabah, karena terkait dengan sosok perempuan yang pertama kali membuat dan menemukan pola gerabah, seperi keta atau forno, boso, cobe, hito, dan ngura-ngura.

Gerabah Mare

Sekalipun hanya terdapat lima jenis gerabah sebagai motif awal. Namun pada umumnya laki-laki tidak diperbolehkan membuat gerabah dengan motif apapun, karena ada larangan (boboso)  dan bila dilanggar dapat menyebabkan hal-hal yangg tidak diinginkan. Larangan tersebut sebagai bentuk penghormatan kepada sosok seeorang perempuan itu. Dikisahkan oleh Usman Alting (54), bahwa:


 ”Dahulu ada seorang bapak bernama Bede mencoba untuk membuat belanga tanah yang sering dibuat oleh perempuan. Meskipun telah diingatkan, namun asumsi Bede bahwa lelaki itu lebih kuat dan akan kerja lebih cepat. Dengan demikian Bede juga mencoba untuk membuat belanga, akan tetapi dalam proses pembuatan belanga, tiba-tiba suara dan gerak Bede berubah seperti perempuan (waria)”. 


Kejadian tersebut diyakini bahwa Bede tidak patuh pada larangan yang tidak tertulis dan diwariskan oleh para leluhur sehingga perubahan fisik menjadi waria adalah peringatan bahwa tidak boleh ingkar pada larangan yang telah ditetapkan oleh leluhur. Meskipun begitu, laki-laki memiliki peran sendiri dalam selama proses pembuatan gerabah, diantara mengambil tanah dari gunung, tanah merah dari Halmahera, dan memasarkan/menjual. 

 

 

Share:
Komentar

Terkini