Mafu Togoreba (Sumber foto: Subhiyanto Ajijuddin, 2024) |
Dikisahkan bahwa Topo sejak dahulu telah dihuni oleh empat soa (marga) yang terdiri soa Fodofu, soa Buru, soa Rfu se Otu, dan soa Tola Dou. Kemudian disusul dua soa lainnya yang diduga bersal dari Pulua Halmahera yaitu soa Lepe Palabo, dan soa Saw(h)u. Enam kelompok sosial (soa) ini memiliki seorang pemimpin yang dikenal dengan Momole Doku Madoya.
Selain Momole Doku Madoya juga terdapat tiga momole lainnya yaitu Momole Gimelaha Barakati, Momole Tina, dan Momole Balibunga yang hidup berpencar besama kelompok klan-nya. Amin Faroek (2006) menambahkan bahwa selain empat momole yang dimaksud juga terdapat tiga momole lainnya yaitu Momole Rabu Hale, Momole Jagarora, dan Momole Rato.
Pemukiman Awal Orang Tidore
Dahulu, pemukiman orang Tidore yang tergabung dalam komunitas-komunitas kecil, terdiri dari suatu kekerabatan luas dari suatu komunitas dengan kesamaan linguistik. Dalam satu soa (klan) tinggal dalam satu fola (rumah) dan menghuni satu wilayah yang disebut "gamtina" atau "gamayou" untuk untuk menunjukan pemukiman tua orang Tidore. Kedua penamaan ini memiliki makna yang sama yaitu kampung yang berada di wilayah gunung atau didara (Ahmad, I. 2016).
Dikisahkan oleh Nani Jafar (55) orang Tidore sebelum kenal agama Islam, telah terbentuk kelompok-kelompok sosial dan hidup berpencar-pencar di pedalaman Kie Doku. Kelompok sosial yang terkecil disebut soa yang terdiri dari 4-9 kepala keluarga. Setiap soa memiliki pempinan rasional tradisional yang dinamakan fomanyira. Setiap fomanyira dan warga yang terhimpun dalam satu soa memiliki pimpinan spritual yang disebut sowohi dan sowohi memiliki rumah spritual yang dinamakan Limau.
Daulu soa, limau dimiliki oleh setiap gam. Beberapa soa kemudian dihimpun dan membentuk satu gam dan memiliki pimpinan dengan sebutan gimalaha. Gimalaha juga memiliki pemipin spritual yang dinamakan sowohi yang tingkatan spritualnya berbeda dengan sowohi lainnya. Kemudian beberapa gam terhimpun menjadi boldan (semacam kerajaan) dan memiliki pimpinan yang dinamakan kolano (sebutan untuk pemimpin laki-laki) dan momole (sebutan untuk pemimpin perempuan), setiap kolano dan momole juga memiliki rumah spirual yang dinamakan sowohi dengan tingkatan yang berbeda dengan sowohi yang lain.
Mafu Togorebo
Dahulu, kekuasaan para momole terbatas pada wilayah tertentu yang berada di Kie Doku. Dalam mencari legitimasi kekuasaan, para momole tersebut sering bertikai dan didukung oleh anggota komunitasnya masing-masing. Pertikaian tersebut seringkali menimbulkan pertumpahan darah. Usaha untuk mengatasi pertikaian tersebut selalu mengalami kegagalan.
Suatu ketika pada 846 Masehi, rombongan Ibnu Chardazabah utusan Khalifah al-Mutawakkil dari Kerajaan Abbasiyah di Baghdad tiba di Kie Doku. Pada saat itu, sedang terjadi pertikaian di antara para momole. Untuk meredakan dan menyelesaikan pertikaian tersebut, salah seorang anggota rombongan Ibnu Chardazabah, bernama Syech Yakub memfasilitasi para momole untuk melakukan rekonsiliasi perdamaian yang disebut Gumira Mabuku di sebuah tempat/batu besar yang dikenal dengan sebutan "Mafu Togorebo" yang dimaknai “menjaga haluan yang telah disepakati bersama” (Ahmad, I. 2019).
Hasilnya, para momole bersepakat bahwa siapa yang tiba paling cepat ke lokasi pertemuan akan menjadi pemenang dan memimpin pertemuan. Setiap momole yang sampai ke lokasi pertemuan wajib memekikkan “To ado re!”, sebagai penanda bahwa ia telah sampai di puncak Kie Doku yang disebut Marijang.
Dalam pendakian menuju ke puncak Kie Doku, para momole yang bertikai tersebut tiba pada saat yang sama sehingga tidak ada yang kalah dan menang. Berselang beberapa saat kemudian, Syech Yakub juga tiba di lokasi, lalu berujar dengan dialek Iraknya: Anta thadore. Karena para momole datang pada saat yang bersamaan, maka tidak ada yang menjadi pemenang. Konon, sejak peristiwa tersebut kata Tidore, sebagai kombinasi dari dua kata: "Ta ado re" dan Thadore, artinya “aku telah sampai.” Disepakati untuk menggantikan kata Kie Duko dan Marijang menjadi nama sebuah pulau menjadi Tidore (Abubakar, F. 2017).
Hasil Rekonsiliasi Togorebo
Selain kesepakatan kata Tidore digunakan untuk menunjukkan Kie Duko. para momole bersama Syech Yakub juga menyepakati beberapa poin dalam rekonsiliasi perdamaian di Togorebo adalah sebagai berikut:
- Bidang agama; memeluk agama islam, menjalankan syariat agama Islam, meninggalkan kepemimpinan kolano dan momole menjadi sultan, boldan menjadi kesultanan, pemimpin spritual sultan adalah sowohi dan adat Tidore dengan filosofi yang bermakna “Adat bersendikan agama dan agama bersendikan kitabullah.”
- Bidang ekonomi; melakukan perdagangan cengkeh untuk menopang jalannya pemerintahan.
- Bidang politik; membentuk struktur kesultanan untuk membantu sultan dalam menjalankan pemerintahan, melakukan perluasan wilayah untuk mengenalkan agama Islam serta mengimbangi (menjaga haluan) pusat Kesultanan Tidore di wilayah-wilayah pinggiran (Baca juga Faroek, A. 2006; Ahmad, I. 2019).
Sejak peristiwa tersebut, Kesultanan Tidore mendiami wilayah pesisir dan melakukan transaksi dagang bersama para saudagar yang datang mencari cengkeh. Begitu juga agama Islam disiarkan diberbagai pelosok (kekuasaan Tidore), serta meninggalkan tradisi leluhut yang dianggap bertentangan dengan agama Islam.
Perkembangan wilayah kekuasaan Tidore berlangsug dan telah meluaskan pengaruhnya hingga ke wilayah-wilayah lain di seberang Pulau Tidore. Pengaruh budaya dan kekuasaan Islam Tidore dibuktikan adanya catatan sejarah, dan tradisi lisan di beberapa daerah bahwa mereka bagian dari kekuasaan Islam Tidore. Bukti-bukti fisik arkeologi memperkuat bukti bahwa Kesultanan Tidore meluaskan pengaruhnya baik pengaruh budaya Islam.
Tinggalan Cagar Budaya di Topo
Dalam konteks hubungan timbal balik, data etnografis menunjukkan bahwa Tidore mampu menjaga wilayah-wilayah kekuasaannya secara supranatural. Tradisi-tradisi yang masih berkembang saat ini, seperti ritual Goya Buru (soa Buru yang disebut memiliki hubungan dengan pulau Buru, Maluku) bagi masyarakat Topo, misalnya dapat menjadi contoh bagaimana pusat kosmologi di Tidore mampu menjaga “anak cucu” mereka meski berada jauh di seberang pulau.
![]() |
Kompleks Makam Jere Jou (Sumber: dokumen tim penelitian Balai Arkeologi Maluku, 2019). |
Tim Ahli Cagar Budaya Maluku, Syahruddin Mansyur (2019) dalam penelitiannya menemukan bahwa kompleks Makam Jere Jou (Jere Jou artinya makam raja atau makam wali) berjumlah tujuh makam dan tiga diantaranya ialah makam para momole, kolano atau raja sebelum zaman kesultanan. Para Kolano tersebut adalah Duku Madoya, Kie Matiti dan sebuah makam yang belum diketahui namanya yang merupakan ayah dari salah satu kolano tersebut. Dari situs Jiko ke arah barat sampai di situs Mafujara dan situs Togorebo yang berada di sebelah barat laut . Situs Mafujara merupakan situs ritual masyarakat Topo yang disebut ritual Goya Buru. Situs ini berada di sebelah barat Situs Jiko dan sebelah utara pusat perkampungan Topo. Secara umum terdapat tempat-tempat ritual yang sering dilakukan oleh masyarakat setempat yang sering disebut Tagi Goya. Ritual-ritual ini sering dilaksanakan oleh masing-masing soa dan dilakukan di tempat-tempat yang dianggap keramat oleh soa yang membentuk masyarakat di Topo.
![]() |
Denah Kompleks Makam Tomayou (Sumber: dokumen tim penelitian Balai Arkeologi Maluku, 2019). |
Potensi sumberdaya budaya khususnya tinggalan arkeologi di Topo dapat segera di tetapkan oleh pemerintah terkait. Seperti Situs Jiko, Situs Mafujara, Situs Togorebo. Situs-situs arkeologi yang ada juga dapat dimaknai untuk menumbuhkan upaya pengembangan kepariwisataan melalui wisata edukatif dan wisata religi. Oleh karena itu, penting untuk dilakukan sinergitas antar lembaga untuk segera menetapkan tinggalan arkeologi yang ada sebagai Cagar Budaya.
Dengan begitu, kita mengembalikan kemabali gairah menghargai benda-benda cagar budaya yang bukan hanya menjadi kekayaan masyarakat dan bangsa, melainkan juga menjadi kekayaan ilmu pengetahuan yang akan terus mengungkap fakta-fakta sejarah itu. Menikmati keindahan dan menjaga kelestarian benteng Oranje merupakan salah satu bentuk kepedulian yang sangat berarti. Tentunya peran para ahli yang berkaitan dengan perlindungan benda-benda cagar budaya perlu ditingkatkan dengan memberikan pemahaman, pengertian dan sosialisasi.