-->

Menengok Sejarah: Selamatkan Maluku Utara

Editor: Irfan Ahmad author photo


Pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang akan digelar secara serentak pada November 2024 tersisa beberapa bulan lagi. Pesta demokrasi menyita perhatian banyak kalangan. Ada yang menyambutnya dari biasa-biasa saja. Ada pula yang menyongsongnya sebagai wadah atau momen ‘pertarungan’. 

Di Maluku Utara, misalnya, pilkada November nanti ada yang mengungkapkannya sebagai “pertarungan para bintang”. Meski tidak sepenuhnya benar, tetapi tidak juga salah. Karena kalau kita tengok ke belekangan, sejarah 500 tahun silam membentang fakta bahwa Maluku Utara menjadi idaman bangsa-bangsa seperti Portugis, Spanyol, Inggris, dan Belanda. Maluku Utara adalah medan pertarungan yang memperjumpakan kepentingan global pada masa itu. 

 

Magnet macam apa yang yang membuat negeri (Maluku Utara) ini sedemikian menariknya bagi bangsa-bangsa lain? Rempah tentu saja! Maluku Utara bahkan digelari sebagai ‘the spicy island’.

 

Daya pikat Maluku Utara terus berlanjut hingga kejtuhan rezim Orde Baru. Tapi bukan karena rempahnya. Bukan cengkih atau pala sebagai hasil pertanian andalannya. Rempah ‘hilang’ dari pasar dunia. Perhatian bergeser ke hiruk-pikuk kala menjelang pemilihan kepala daerahnya.

 

Rempah juga digeser oleh sumber daya tambang provinsi ini. Kekayaan alam seperti nikel, emas, batubara, timah, tembaga menjadi penggerak perekonomian penting bagi Indonesia dan Maluku Utara. Nikel, yang diraup dari pulau Halmahera, konon kualitasnya sangat baik sehingga sangat diminati di pasar global. Ini digunakan untuk berbagai aplikasi industri, termasuk produksi stainless steel dan baterai kendaraan listrik. 

 

Kembali ke soal pilkada. Kalau kita perhatikan satu bulan terakhir, di media sosial ramai tetang sepak terjang para bakal calon gubernur Maluku Utara. Berbagai manuver dilakukan demi memperoleh rekomendasi  Surat Tugas (ST), Surat Rekomendasi (SR), Surat Keputusan (SK), dan yang paling tinggi B.1KWK—merupakan formulir yang digunakan untuk mendaftar di KPU, dan tanpa formulir dukungan partai dianggap belum sah.

 

Para bakal calon gubernur masih bermanuver untuk menyakinkan partai politik sebagai syarat “kendaraan politik” nantinya. Sedangkan partai politik masih cair dan lentur menunggu peluang. Semua bakal calon masih mengatur strategi dan pendekatan agar bisa mendapatkan restu dari partai politik. Partai politik akan mengeluarkan B.1KWK kepada calon pilihan partai. Bahkan, ada kalanya partai tidak “mempertimbangkan” rekomendasi yang diajukan dari pergurusnya di tingkat daerah. Tampaknya, partai politik memberikan restu melalui B.1KWK sangat mempertimbangkan dan melihat geliat pergerakan politik nasional. Bakal calon juga “wajib” mengikuti arahan para elit politik pusat, sepenuhnya.

 

Peran Para Sultan

Fenomena berpolitik di atas sangat jelas menunjukkan bahwa cara berpolitik negara yang menjunjung tinggi demokrasi masih bermental “politik kolonial”. Daerah tampaknya tidak berdaya dengan kepentingan pusat. Fenomena ini mengingatkan pada masa-masa penjajahan Belanda. Pada masa itu, semua kebijakan harus mendapatkan restu dari Gubernur Belanda yang berkedudukan di Batavia (Jakarta). Meskipun berada di Jakarta, gubernur kadang mengeluarkan putusan yang keliru dan salah. 

 

Dengan membaca kembali politik Maluku Utara, memaksa kita menengok dan belajar memahami politik masa silam yang pernah terjadi di Moloku Kie Raha (Maluku Utara). Hal ini penting untuk mengetahui episode demi episode untuk menyelamatkan dan membangun Provinsi Maluku Utara yang lebih baik. 

 

Dahulu, ketika orang Eropa ingin menguasai kekayaan rempah-rempah di Moloku Kie Raha, mereka menerapkan salah satu strategi jitu, yaitu “devide et impera” atau politik adu domba. Ini adalah strategi politik, militer, dan ekonomi dengan cara memunculkan perpecahan pada suatu daerah agar mudah dikuasai. Strategi itu diatur oleh para elit kolonial demi keuntungan ekonomi di pasar global. 

 

Sekalipun mendapat ancaman, para sultan di Moloku Kie Raha menentang praktik imperialisme dan kolonialisme. Dengan tulus dan gagah berani, mereka berjuang sampai titik darah terakhir atas nama rakyat dan agamanya. 

 

Sultanah Ternate, Nulika Boki Raja (1529-1530) adalah perempuan pertama di Nusantara yang melakukan seruan dan berperang menentang Portugis. Bahkkan kematian ayahnya, sultan Al Mansur (1512-1526) di makamkan tidak seistimewa seperti sultan-sultan lainnya, karena mendapat serangan yang bertubih-tubih dari Portugis. Tipu daya orang Portugis dan manuver atas nama agama membuat Sultan Khairun Jamil (1535-1570) meninggal secara tragis. 

 

Sekalipun mengalami kekerasan dan berakhir dengan kematian, semangat para sultan menentang ketidak adalian terus dilakukan. Seperti yang dilakukan oleh sultan Baabbulah Datu Syah  (1570-1583) yang berhasil mengusir Portugis dan sultan Muhammad Amiruddin, Nuku (1797–1805) harus berjuang ± 20 tahun menentang Belanda. Beberapa sultan dan orang yang menentang kebijakan politik Belanda diasingkan bertahun-tahun, namun semangat juang itu tidak mati dan terus dilakukan untuk kepentingan rakyat dan mengangkat martabat orang Moloku Kie Raha.

 

Perlu diketahui bahwa sultan-sultan terdahulu dalam melakukan perlawanan tidak menonjolkan simbol agama sekalipun semua kesultanan di Moloku Kie Raha bercultur Islam. Sebaliknya, Belanda selalu menuding gerakan-gerakan perlawanan terhadap Pemerintah Belanda di sponsori oleh ulama. Itulah kenapa, ketika Banau bin Alum (1879—1915) melakukan perlawanan di Kao dan Jailolo, sultan Haji Muhammad Usman (1902-1914) dituding sebagai dalang atas pemberontakan dan dibuang (pengasingan) ke Bandung dan Banau di eksekusi mati. Sama halnya dengan perlawanan di Halmahera oleh  Haji Salahudin bin Talabudin (1887-1948) yang berakhir dengan hukuman tembak mati oleh Belanda.

 

Pada Era Revolusi Indonesia, Maluku Utara memainkan perang penting. Ini dapat dilihat ketika  Sultan Tidore, Zainal Abidin Syah (1946-1956) memperjuangkan Papua dari dari cengkeraman kolonialisme dan mengembalikan ke pangkuan Ibu Pertiwi, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sekalipun Belanda memberikan tawaran uang, jabatan, dan hidup sejahtera selama tujuh turunan,  namun sultan lebih memilih berjuang atas nama NKRI.

 

Agama sebagai Agen Politik?

Sejak dahulu, agama Islam di Moloku Kie Raha selalu dibenturkan dengan kepentingan politik Portugis maupun Belanda. Sekalipun pada akhir Abad XIX dan awal Abad XX agama Islam menjadi corong pergerakan, orang Moloku Kie Raha selalu hidup berdampingan, ketika wacana politik lokal tidak menjadikan agama sebagai “agen penetrasi” untuk simpati masyarakat dan mendulang suara nantinya.

 

Para sultan terdahulu tidak melarang jika agama sebagai propaganda politik sesuai dengan keyakinan atau agama yang dianut. Tapi begitu agama Islam dijadikan propaganda non muslim, maka bisa berakibat fatal. Dalam beberapa kasus agama dijadikan sebagai “agen politik” tidak berjalan mulus. Keberhasilan agama dijadikan “agen politik” memang pernah berhasil, tapi menimbulkan konflik, kenangan buruk bila kita membaca sejarah Moloku Kie Raha Abad XVI sampai awal Abad XX.

 

Di Abad XXI ini, semua bakal calon Gubernur Maluku Utara tentu memiliki niat yang sama, yaitu menyelamatkan Maluku Utara dari keterpurukan dengan kekayaan alam yang berlimpah. Namun harus memperhatikan aspek sosial budaya (adat se atoran) yang di dalamnya ada nilai dan norma yang berlaku di Moloku Kie Raha yang dikemas dalam falsafah “adat matoto agama, agama mototo kitabullah” yang dapat dimaknai bahwa adat dan tradisi berpijak dan berlandaskan kepada ajaran Islam, ajaran Islam bersumber kitabullah (Alquran). Tidak heran jika nilai dan norma yang diwariskan ini diganggu, maka dapat menimbulkan gejolak pada masyarakat setempat.

 

Falsafah hidup orang Moloku Kie Raha belakangan telah memudar. Bobeto (sumpah) leluhur yang mengharuskan untuk menjaga dan melestarikan alam (sengaja) diabaikan. Maka jangan heran jika belakangan negeri ini carut-marut. Angka kemiskinan semakin tinggi di wilayah tambang, musibah banjir, dan tak kalah menarik muncul korupsi berjamaah.  

 

Dahulu, melalui cengkih kita dibodohi. Belanda menerapkan hongitochten untuk mengontrol harga dan menebang pohon cengkih atas kepentingan negara. Sekarang kita masih berdiri di tanah yang sama yang dipijak oleh para leluhur, namun bukan lagi cengkih dan pala yang menjadi rebutan. Melainkan nikel, emas, bijih besi yang berlimpah dan menjadi daya tarik bagi provinsi Maluku Utara. Apakah kita sejahtera di atas tanah yang kita pijak ini (?). Lantas siapa yang berhak memimpin negeri ini agar adil, seperti pada masa-masa sultan-sultan terdahulu. Tidak mudah memang bila mau mengikuti pendahulu kita. Tapi paling tidak seorang pemimpin harus memiliki jiwa spiritual, iman, dan komitmen membangun negeri ini, dan tidak punya kepentingan kelompok atau ‘politik balas budi’. 


(Opini ini pertama kali dipublikasi oleh Malut Post. Sabtu, 3 Agustus 2024)

Share:
Komentar

Terkini