-->

Seirama: Politik, Bisnis, dan Korupsi

Editor: Irfan Ahmad author photo

Ide untuk menulis opini ini, berawal dari seorang teman yang mengirimkan video pendek melaui WhastApp. Dalam potongan video berdorasi 1.46 menit itu, Margarito Kamis menyampaikan bahwa “politik itu bisnis dan bisnis itu politik, jangan dipikir politik itu terus  mengabdi......”. Pernyataan pakar hukum tata negara Indonesia itu, sebetulnya tidak salah dan praktek seperti itu sudah dilakukan sejak masa penjajahan Belanda di Indonesia.

Bila kita sepakat politik itu bisnis maka  bisa diartikan dalam beberapa cara tergantung pada konteksnya. Misalnya, politik sebagai bisnis karier (jabatan) atau politik balas budi dengan memberikan seseorang jabatan karena punya peran tertentu ketika bergulirnya politik. Dalam konteks ini, politik bisa dilihat sebagai bentuk bisnis pribadi, karena penggunaan kekuasaan politik untuk keuntungan pribadi atau menggunakan kekuasaan mereka untuk memperkaya diri sendiri atau bisnis. 

 

Hubungan erat antara politik dan bisnis dalam beberapa konteks, keduanya saling terkait. Dalam pemerintahan, kebijakan politik seringkali memiliki dampak langsung pada ekonomi dan bisnis. Misalnya, kebijakan pajak, regulasi bisnis, dan perjanjian perdagangan internasional semuanya mempengaruhi dunia bisnis.

 

Pengusaha dan Politik

Dalam beberapa kasus, para pengusaha memilih mencalonkan dirinya sebagai kepala daerah dan bisnisnya terus berjalan. Jika demikian, politik bisa terhubung melalui praktik korupsi dan nepotisme, di mana kekuasaan politik digunakan untuk keuntungan bisnis mereka. Apalagi sudah melibatkan korporasi dalam politik. Maka yang terjadi nantinya, korporasi akan mempengaruhi kebijakan politik dan menimbulkan ketimpangan ekonomi, karena sumber daya negara yang harusnya untuk kesejahteraan rakyat malah jatuh ke tangan pengusaha. 

 

Pengalaman manajerial yang dimiliki setiap pengusaha, membuat pengusaha sering membawa keterampilan manajerial yang kuat dan pemahaman bisnis yang mendalam ke dalam politik, yang bisa bermanfaat dalam merumuskan kebijakan ekonomi dan pembangunan. Pengusaha mungkin memiliki keterampilan manajerial yang baik, tetapi kurangnya pengalaman dalam politik bisa menjadi tantangan dalam memahami dan mengelola kompleksitas pemerintahan dan legislasi.

 

Dengan demikian pengusaha yang terjun ke politik mungkin menghadapi konflik kepentingan antara kepentingan bisnis pribadi mereka dan kepentingan publik. Hal ini dapat mempengaruhi kebijakan yang mereka buat. Ada banyak risiko ketika pengusaha berpolitik, mereka akan lebih cenderung membuat kebijakan yang menguntungkan bisnis dan kelas atas, sementara mengabaikan kebutuhan rakyat. Pengusaha yang terjun ke politik dapat membuka peluang bagi korupsi dan nepotisme, terutama jika pengusaha menggunakan posisi politik mereka untuk menguntungkan bisnis pribadi atau kroni mereka.

 

Mesin Bisnis dalam Politik

Partai politik bisa dikatakan sebagai  mesin bisnis, ketika dianalisis dari beberapa sudut pandang dan bagaimana partai politik tersebut beroperasi dan dibiayai. Sepuluh tahun lalu, ada salah satu partai politik dengan jargon “politik tanpa mahar”. Ketika mendengar ini, tentu, rakyat berharap jargon tersebut dapat menyegarkan demokrasi dan menuntun negeri ini keluar dari lingkaran korupsi. Tampaknya, jargon itu tidak menggema lagi dan hilang begitu saja. Bisa jadi karena biaya politik yang begitu mahal.

 

Pengaruh bisnis dalam politik memiliki pengaruh signifikan. Tidak dipungkiri bahwa pimilihan kepala daerah (gubernur, wali kota, dan bupati) membutuhkan ongkos politik yang sangat mahal.  Ongkos itu diigunakan untuk lobi partai, survei, atribut politik, kampanye, operasional, dan biaya lainya. Ongkos politik yang begitu mahal, membuat peluang ada pengusaha mengeluarkan sejumlah uangnya untuk mendukung pasalon tertentu. Hal inilah menjadi pemicu terjadinya lingkaran korupsi, karena deal-deal politik, dan bisa dipastikan bahwa keputusan politik sering kali dipengaruhi oleh kepentingan bisnis.

 

Dalam mencalon diri sebagai kepala daerah, wajib mengunakan partai politik  sebagai syarat untuk mencalonkan diri. Tidak saja satu partai, harus beberapa partai dengan syarat jumlah perolehan kursi pada setiap provinsi dan kabupaten/kota. Praktik “membeli partai” sebagai dukungan untuk berlayar di pilkada bagi mereka yang ingin mengabdikan diri di suatu daerah membutuhkan biaya onkos yang mahal. Catatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2023 menyebutkan bahwa para kontestan mengeluarkan uang antara Rp. 5-15 miliar/ kandidat untuk membiayai mahar politik. 

 

Tahun 2024, bisa jadi ongkos politik bertambah mahal untuk mendapatkan restu dari partai politik. Semua pasanggan calon harus mendapatkan rekomendasi Surat Tugas (ST), Surat Rekomendasi (SR), Surat Keputusan (SK), dan yang paling tinggi B.1KWK—merupakan form yang digunakan untuk mendaftar di KPU dan tanpa form B.1KWK dukungan partai dianggap belum sah. Untuk mendapatkan form B.1KWK, para bakal calon tentu harus berada di Jakarta—mengatur strategi dan bermonuver untuk menyakinkan partai politik agar mendapatkan restu mengunakan partai tersebut. Jalan panjang untuk mendapatkan partai politik, tentu berdampak pada ongkos politik.

 

Erosi Kepercayaan 

Saya punya keyakinan tidak semua partai politik berfungsi sebagai mesin bisnis yang menyebabkan meningkatnya korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Meskipun begitu ada banyak bukti yang menunjukkan bahwa kepentingan bisnis memainkan peran penting dalam politik dan menyebabkan korupsi.  

 

Skandal korupsi yang melibatkan politisi dan partai politik sering kali merusak kepercayaan publik. Ketika publik merasa bahwa partai politik lebih mementingkan kepentingan pribadi atau kelompok daripada kepentingan rakyat, kepercayaan pun menurun. 

 

Saat ini, rakyat sudah mulai jenuh, kehilangan kepercayaan pada sistem politik, karena peran partai politik berpotensi untuk kepentingan bisnis dan bukan untuk kepentingan rakyat. Partai politik dianggap tidak mendengarkan atau mengabaikan aspirasi rakyat, karena partai politik yang berkuasa tidak dapat memenuhi janji kampanye mereka atau gagal dalam mengelola pemerintahan dengan baik.

 

Erosi kepercayaan rakyat kepada partai politik semakin besar. Maka, praktik meninang dan memberikan mahar politik harus dihentikan, karena ongkosnya mahal. Politik tanpa mahar yang pernah menjadi jargon salah satu partai politik, harusnya dibangkitkan kembali. Namun, tidak bisa hanya satu partai yang terlibat, namun semua partai politik. Silahkan berpolitik dan berbisnis namun untuk kepentingan rakyat, karena gaji para pejabat bersumber dari rakyat (Opini ini pertama kali dipublikasi oleh Malut Post. Rabu, 7 Agustus 2024).


Share:
Komentar

Terkini