Pemandangan Pulau Ternate dengan letusan gunung berapi dan kapal di latar depan, 1750 (Sumber: Franscois Velentijn. 1724) |
Ternate adalah salah satu pulau vulkanik di Maluku (utara). Laporan tertua yang menyebutkan bahwa pulau Ternate sebagai pulau vulkanik adalah penulis dari Mesir, Ibrahim ibn Wasif--Shah (1000 M)—ia sempat mendatangi tempat asal-muasal tanaman cengkih dan mengabadikan dalam karyanya yang berjudul “Kitab al-‘Adja’ib al-kabir”. Dalam laporan itu, disebutkan bahwa di suatu tempat, terdapat pulau vulkanik yang memiliki “Lembah Cengkih”. Tidak ada pedagang atau pelaut yang pernah ke lembah itu, buah cengkih dijual oleh jin. Para pelaut datang di pulau itu, meletakkan dagangan mereka di pantai dan kembali ke kapal mereka. Esok paginya, mereka menemukan sejumlah cengkih yang telah ditinggalkan (Dalby, 2000).
Dalam laporan perjalanan itu, tidak menceritakan tentang letusan gunung Gamalama yang terjadi di Ternate. Meskipun begitu, Ibrahim ibn Wasif--Shah menegaskan bahwa pohon Cengkih hanya tumbuh subur dan sangat ideal ketika berada di pulau vulkanik. Pulau vulkanik yang dimaksud adalah empat pulau kecil (Ternate, Tidore, Moti, dan Makeang). Dukungan alam Pulau Ternate inilah yang memungkinkan keberlanjutan budidaya cengkih bertahan sampai saat ini. Cengkih dan orang Ternate adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Fakta ini bukan sesuatu yang baru berlangsung dalam kehidupan orang Ternate namun telah berlangsung sejak berabad-abad silam.
Pulau Ternate memiliki iklim tropis dan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan pohon cengkih. Tanah yang mengandung abu vulkanik merupakan komponen utama dan penting bagi daya dukung tumbuhnya pohon cengkih. Meskipun Ternate adalah pulau vulkanik dan menjadi ancaman bagi masyarakat yang mendiami lereng gunung Gamalama, tetapi pulau vulkanik ini memberikan kehidupan yang menjanjikan bagi petani cengkih. Abu vulkanik membuat tanah jadi subur. Unsur-unsur magnesium, kalsium, natrium, dan kalium yang terkandung di dalamnya membuat cengkih dan tumbuhan lainnya menjadi subur. Bahkan, kesuburan dan kualitas cengkih terbaik diklaim terdapat di pulau vulkanik ini (Koehler, 2021). Menurut R. A Donkin (2003) pohon cengkih tumbuh subur di lereng-lereng gunung berapi dan memiliki kualitas terbaik. Demikianlah sehingga cengkih dianggap berkah alam yang unggul dan khas bagi pulau vulkanik.
Toponim Kota Tua Sampalo
Pulau Ternate dengan kawasan pemukiman kuno masih tetap bertahan, berada di lereng gunung dan berakhir di daratan kecil di sisi pulau menuju pantai. Deskripsi yang dibuat oleh orang-orang Eropa terhadap pusat pemukiman hanya sedikit diubah oleh penduduknya hingga abad XVII. Sejak Kolano Cico atau Baab Mashur Malamo (1257-1272) memerintah, ada kebijakan yang mengharuskan rakyatnya untuk turun dari Foramadiahi ke arah pesisir Sampalo untuk melakukan kontak dengan para pedagang. Franscois Velentijn (1724) menyebut sejak adanya kebijakan untuk membuat pemukiman Sampalo di pesisir dengan tujuan melakukan kontak dengan para pedagang Jawa, Melayu, Cina, Arab, Turki, Gujarat, dan Persia agar Ternate tumbuh berkembang menjadi sebuah kota yang ramai dan kosmopolit.
Sekalipun dalam konteks perdagangan rempah (cengkih) pada abad XIV, Ternate muncul sebagai kota pelabuhan dan sentral perdagangan yang didatangi para saudagar dari Arab dan Cina, namun pulau penghasil cengkih sangat dirahasiakan. Bagi yang lalai dan mengungkapkan keberadaannya, maka ganjarannya adalah hukuman mati. Demikianlah sehingga informasi berupa peta, sketsa atau gambar kota Ternate secara terperinci diperlakukan layaknya dokumen rahasia.
Akibatnya wujud fisik kota Ternate tidak diketahui secara jelas, satu-satunya sumber yang dapat digunakan untuk merekonstruksi morfologi kota Ternate pada kurun waktu tersebut adalah gambar yang dibuat oleh Van Weyndrick Hirrecksen Jolinck yang tiba di Ternate pada tanggal 22 Mei 1599. Ia berhasil mendokumentasikan pemukiman kota Ternate dan fasilitas yang ada.
Antonio Galvao, Gubernur Portugis (1537-1540), dalam laporannya yang berjudul “Historia Das Molucas,” mencatat bahwa ketika tiba di Ternate pada 1537 kondisi kota Ternate porak poranda, semua fasilitas kota hancur, harga kebutuhan pokok melambung sangat tinggi sehingga orang Portugis, budak, dan tawanan mati akibat terjadinya peperangan dan penyakit karena bencana alam.
Dalam laporan itu, Antonio Galvao memberi keterangan bahwa pemukiman Portugis berada dii bagian selatan benteng Nostra Senora del Rosario dan Istana dan masjid Ternate berada di utara benteng Portugis. Sementara kampung Limatahu berada di ujung Istana Ternate atau batas kota.
Ternate sampai pada abad XVI pemukiman masih sangat terbatas, di antaranya Sampalo, Soa-Sio, Foramadiahi, Limatahu, Tobu, Tobona, Tobanga, Talangame, dan kampung Melayu. Dari kesembilan kampung tersebut, dalam laporan Antonio Galvao, tanggal 27 Oktober 1536, tercatat bahwa penganut agama Islam di Ternate sebanyak 2000 orang, Kristen Katolik 123 orang, dan para budak dan orang yang belum memiliki agama berjumlah 1.600 orang (Jacobs, H. ed. 1971). Jumlah di atas tidak termasuk masyarakat yang mendiami kampung Melayu dan Talangame.
Di kota Tua, Sampalo (Kastela) terdapat satuan geomorfik volkanik. Geomorfik volkanik mengacu pada bentuk atau fitur permukaan bumi yang dihasilkan oleh aktivitas vulkanik. Dalam studi geomorfologi, unit atau satuan geomorfik ini digunakan untuk mengklasifikasikan dan memahami berbagai bentuk lahan yang terbentuk dari proses vulkanisme. Satuan-satuan ini mencakup berbagai skala, dari gunung berapi besar hingga fitur kecil yang dihasilkan dari erupsi vulkanik. Satuan geomorfik volkanik menempati ± 35 % dari luas daerah Foramadiahi, Sampalo bagian barat, dan Rua bagian barat. Satuan geomorfik pada daerah ini terdapat pada daerah dengan topografi ± 225–675 meter, yang tersusun atas batuan beku andesit dan basal. Di wilayah ini memliki slope dengan nilai ± 20Âş-47Âş dengan bentuk pegunungan—perbukitan yang bergelombang sedang—kuat. Hal ini disebabkan oleh penerobosan magma yang memengaruhi perubahan bentang alam. Selain itu, daerah Foramadiahi, Sampalo, dan Rua adalah wilayah basal. Dalam ilmu geologi, basal merujuk pada lapisan atau bagian paling bawah dari suatu urutan stratigrafi atau formasi batuan. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan batuan atau sedimen yang terletak di dasar suatu sekumpulan lapisan geologi. Proses penyebaran basal sendiri dapat dijumpai dalam penerobosan magma maupun dalam bentuk blok batuan beku sebagai hasil erupsi gunung api (Iriyanto, 2006).
Berdasarkan pengetahuan terhadap tanda-tanda alam yang dimiliki oleh para leluhur yang mendiami pulau Ternate, pemukiman awal dikonsentrasikan di daerah ketinggian dan menyebar di pesisir Sampalo hingga Limatahu sebagai batas kota. Dari kampung Limatahu ke arah barat menuju Batu Merah tidak diizinkan untuk menempati wilayah tersebut. Tidak ada penjelasan terperinci mengenai alasan wilayah itu dilarang membuat pemukiman. Kemungkinan wilayah tersebut pernah mengalami banjir bandang dan keluarnya lava saat letusan gunung Gamalama beberapa ratus tahun lalu, sehingga kebijakan untuk membuat pemukiman batas sampai di Limatahu. Dari kampung Limatahu menuju ke arah Barat dilarang untuk ditempati dan dinamakan sebagai “Maruwa” yang artinya “tidak usah atau jangan”, bentuk kata seruan atau imbauan atau larang untuk ditempati.
Jejak Bencana di Ternate
Pada masa penjajahan Portugis di Ternate, yang berlangsung dari awal abad XVI hingga pertengahan abad itu, banjir bandang pernah terjadi dan menghantam-rusakkan benteng di bagian utara, pemukiman Portugis. Gunung Gamalama yang terletak di Ternate sering mengalami letusan, termasuk selama periode Portugis. Letusan ini bisa memicu aliran lahar yang berubah menjadi banjir bandang ketika bercampur dengan hujan deras. Lumpur vulkanik dan material dari letusan gunung yang seringkali turun bersama air hujan, menyebabkan banjir besar.
Jalur-jalur keluarnya air saat hujan dan terjadinya banjir bandang itu disebut barangka ‘sungai mati’, karena kondisinya yang tidak mengalirkan air, kecuali saat musim hujan. Beberapa sumber kolonial, merekam bahwa secara keseluruhan barangka yang ada di Ternate adalah jalan lahar yang keluar menuju pantai. Dalam laporan orang Portugis dan Spanyol tidak menyebutkan sejak kapan proses pembentukan barangka, namun dalam perkiraan barangka ini terjadi sajak ratusan tahun lalu sama halnya dengan proses terjadinya laguna dan air panas di Ake Rica.
Ternate diibaratkan sebagai surga yang tersembunyi karena menawarkan pemandangan dan laut yang indah, serta buah cengkih yang berlimpah. Namun penduduk, pelancong, dan saudagar merasa terancam dengan gunung api aktif, gempa bumi, dan banjir bandang. Menurut sumber kolonial, gunung Gamalama tercatat pernah meletus pada periode 1608, 1635, 1653, 1673, 1686, 1687, 1737, 1770, 1775, 1835, 1839, 1840, 1855, 1858, 1862, 1871, 1866, dan 1907. Meski tidak tercatat dengan jelas semua peristiwa, diperkirakan jauh sebelum periode yang disebutkan, gunung Gamalama dikabarkan telah mengalami letusan.
Tidak semua letusan, gempa bumi, banjir bandang, serta penyakit akibat dari letusan dicatat oleh pihak kolonial. Bisa jadi ada laporan khusus mengenai bencana, akan tetapi sejauh ini, tidak ditemukan secara spesifik dalam “satu bundel laporan utuh”, melainkan helai demi helai terpisah, seperti dalam catatan harian para Gubernur, Memorie van Overgave, Koloniaal Verslag, Tijschrift Voor Netherlans Indie, Indishe Gids, Tijdscrift Voor Indische Taal Land En Volkenkunde.
Laporan letusan gunung Gamalama secara terperinci pertama kali dilaporkan oleh Gubernur VOC, Laksamana Paulus van Carden (1608-1609) pada tangal 18-19 Juli 1608. Dalam laporan tersbut, Caarden menceritakan selama dua hari letusan gunung Gamalama menimbulkan getaran yang cukup kuat, bumi seolah-olah akan runtuh diikuti dengan semburan api, kebakaran hutan, dan abu vulkanik yang mencapai Halmahera dan beberapa pulau sekitar. Erupsi juga pernah terjadi pada 1635, namun pada tahun ini tidak dilaporkan secara terperinci oleh Gubernur Johan Ottens (1633-1635).
Ketika memerintahnya Jacob Hustaart (1653-1656) sebagai gubernur di Ternate, Ia melaporkan bahwa letusan dan gempa bumi kembali melanda pulau Ternate, tepatnya pada bulan Maret 1653. Dalam laporan itu, Hustaart menceritakan bahwa sebelumnya terjadi letusan, terdapat abu hitam menjulang ke atas diikuti dengan dentuman keras dari dalam tanah. Setelah itu gunung mengeluarkan material berupa abu dan dan bongkahan “batu api” yang membubung kemudian jatuh mengenai pohon dan terbakar. Beberapa hari setelah letusan, hujan turun dan terjadi longsor di beberapa titik, selain menghanyutkan bongkahan kayu, lumpur, dan bebatuan sampai ke pantai membuat suasana di Ternate saat itu sangat mencekam.
Letusan Gunung Gamalama, 1673. (Sumber: Franscois Velentijn. 1724) |
Dua puluh tahun kemudian, letusan dasyat keembali terjadi di Ternate, tepatnya pada bulan Agustus 1673, satu tahun masa tugasnya Gubernur Cornelis Frank (1672-1675) di Ternate. Letusan ini juga dilaporkan sangat dasyat karena mengeluarkan abu vulkanik dan bebatuan menjulang tinggi ke atas. Bahkan dasyatnya letusan tersebut, api letusan yang menjulang ke atas dapat dilihat dari Ambon dan mengalami dampak abu vulkanik. Di Ternate angka kematian sangat tinggi dan masyarakat mengalami penyakit akibat menghirup debu belerang dan vulkanik. Letusan ini, membuat ketakutan bagi orang Belanda yang memilih pergi ke Ambon, bahkan pejabat yang ditugaskan dari Batavia (Jakrata) ke Ternate juga sempat menolak menerima jabatan yang diberikan.
Dalam “Short Chronicle”, Nomor 3: 164, letusan gunung Gamalama dan membentuk verbrabde hoek (batu angus) berasal dari lelehan lava yang mengalir menuju laut, pertama kali terjadi pada 1737, 1770, dan 1775. Letusan gunung Gamalama yang paling dahsyat juga diberitakan oleh Gubernur Paulus Jacob Volkenaer (1771-1778). Letusan itu terjadi pada tanggal 5–7 September 1775. Akibat letusan ini, terbentuk sebuah maar di sekitar kampung Soela Takomi dan hilangnya 141 orang akbibat dari pembentukan maar yang terletak 1,5 km di sebelah barat daya kampung Takomi sekarang (Wall, van den. 1928). Letusan gunung Gamalama pada 5–7 September 1775 juga mengeluarkan lelehan lava atau lahar yang mengeras di beberapa titik di pulau Ternate.
Letusan gunung Gamalama dan membentuk batu angus (Sumber gambar: KITLV 3145) |
Gunung Gamalam yang beberapa kali mengalami letusan dasyat itu mengakibatkan lereng gunung dipenuhi oleh material vulkanik seperti abu, lapili, batuan, dan debu vulkanik. Material ini sangat lepas dan tidak stabil. Ketika terjadi curah hujan yang tinggi, air hujan dapat dengan mudah mengikis dan membawa material tersebut menuruni lereng gunung dalam bentuk aliran lumpur yang deras. Seperti yang dilaporkan oleh A.R. Wallace (1871), bahwa di Ternate pada akhir November 1858, terjadi musim hujan yang berlangsung lama bahkan nyaris matahari hanya muncul pada pagi hari ± 2 jam. Ternate yang memiliki hutan lebat pun terjadi banjir dan lumpur meluap sampai ke jalan. Pada akhir Desember 1858, masyarakat Ternate dikejutkan gempa bumi yang keras membuat beberapa rumah rusak.
Letusan Gamlama kembali terjadi di Ternate pada 2 Februari 1840 disertai dengan gempa bumi. Sepuluh hari kemudian, letusan kembali terjadi pada tanggal 13-14 malam di bulan itu. Dalam catatan F. S. A, de Clercq (1890), sebelum terjadi letusan di malam itu, terjadi hujan deras, kemudian penduduk mendengar suara dentuman dari dalam tanah dan derasnya guncangan. Terparah terjadi dalam interval ½ jam pada 4.30 dan 5.30 pagi. Letusan yang diikuti dengan hujan deras, membuat banjir bandang di beberapa titik, terutama di “barangka Togorara”. Masyarakat Ternate diimbau untuk tidak tidur malam itu, karena ancaman gunung yang mematikan, suasana semakin mencekam karena hujan dan gelap-gulita.
Gempa bumi terparah terjadi pada tanggal 14 Februari 1840, pukul 10 pagi. Sebagian besar rumah roboh, terutama di kampung Cina dan kampung Eropa. Dua kampung ini tidak bisa lagi dihuni. Kerusakan tersebut mencapai 2 juta gulden (mata uang Belanda selama beberapa abad sebelum digantikan Euro). Dalam lamporan Bickmore (1873-b), setelah peristiwa itu, sebagian orang membangun ruang tidur terpisah di belakang rumah utama dengan bahan dari bambu, papan, atau gaba. Ini adalah bentuk adaptasi masyarakat bila rumah utamanya sewaktu-waktu bisa ambruk karena gempa.
Setelah peristiwa letusan gunung dan gempa, sultan Muhammad Zain (1823-1861) memerintahkan kepada Ilham, Kadi Bangsa, untuk memberitahukan kepada para imam, khatib, dan modin untuk berkumpul di Masjid Lamo agar membacakan doa “Alam Tanzil” setiap malam dan setelah shalat. Pembacaan doa akan dipimpin langsung oleh Muhammad Said Ahmaduljami Almaki Assalah (ulama yang berasal dari tanah suci Mekkah). Sultanpun mengimbau kepada residen untuk segera mengeluarkan aturan dan hukuman berat bagi warga yang melakukan maksiat, meminum minum keras, dan hal-hal yang melangar agama.
Dalam surat kabar Handelsblad, Selasa 21 Januari 1908, diberitakan bahwa letusan juga terjadi pada tanggal 15 Oktober 1907. Letusan ini sempat mengeluarkan leleran lava hingga ke pantai dibagian timur pulau Ternate, namun tidak separah letusan pada tahun 1737, 1770, dan 1775 di jalur leleran lava yang sama.
Sebagai dampak dari letusan gunung Ternate pada 1907, banyak rumah yang roboh terutama rumah yang terbuat dari beton (kalero). Selain itu, banyak masyarakat yang mengalami penyakit. Lima hari berikutnya istri Sultan Ternate, Haji Muhammad Usman dan pangeran Muhammad Ali Bin Ahcmad meninggal dunia. Kesedihan dialami orang Ternate saat itu karena Sultan sedang menjalankan ibadah haji dan tidak menghadiri acara pemakaman istrinya. Peristiwa tersebut, membuat para pemangku agama kesultanan Ternate, mewajibkan agar masyatakat melakukan zikir serta doa bersama untuk keselamatan. Bahkan bila kedapatan masyarakat yang melakukan pelanggaran yang bertentangan dengan agama maka mendapat hukuman yang berat.