-->

Kerajaan Bacan: Antara Mitos dan Realitas

Editor: Irfan Ahmad author photo

Membaca kembali sejarah Makeang, Kasiruta, dan Bacan ibarat membaca gelombang-gelombang perubahan yang terus bergulir. Sebagai wilayah yang kaya akan sumber daya, terutama rempah-rempah (cengkih). Pulau Makeang telah lama menjadi pusat perhatian dunia, mulai dari para pedagang, penguasa kolonial, hingga aktor-aktor lokal. Aktivitas monopoli perdagangan, perebutan wilayah, penguasaan basis ekonomi, dan pertarungan kekuasaan telah meninggalkan jejak mendalam pada perjalanan sejarahnya.


Kerajaan Makeang (bukan “Makian” karena kata “Makian” merupakan konotasi atau pemaknaan buruk terhadap pulau Makeang) atau dikenal dengan sebutan Limau Dolik Komalo Besi terletak di bagian selatan pulau Tidore. Sejarahnya berkembang bersamaan dengan kerajaan-kerajaan yang ada di Maluku. Sebelum kedatangan orang Eropa, Limau Dolik Komalo Besi telah takluk dan mengakui kebesaran Kesultanan Ternate dan Kesultanan Tidore yang terbentuk dalam persekutuan Uli Lima dan Uli Siwa. 

 

Kroniek van het rijk Batjan 

Coolhaas (1923) dalam “Kroniek van het rijk Batjan”, mengatakan bahwa Kesultanan Bacan pada awalnya berada di pulau Makeang. Kesultanan ini mendapat julukan “Maharaja Moloku Astana Bacan, Negeri Komalo Besi Limau Dolik”, dan dipimppin oleh seorang raja, bernama Said Muhammad Bakir atau Said Husin. Coolhaas, sangat jelas dikatakan bahwa penguasa “Bacan Awal” yakin bahwa dirinya berasal dari bagian timur pulau Makeang, kemudian berpindah ke pulau Kasiruta.

 

Di dalam mitos Kroniek van het rijk Batjan dan mitos Tujuh Putri (Naidah, 1878), ditemukan kata besi  yang merujuk pada orang Makeang. Nama pulau Makeang sendiri seringkali disebut sebagi Kie Besi. Kie tidak hanya berarti “gunung” atau “pulau” tetapi juga diartikan sebagai “pulau  tempat terbentang suatu kerajaan.” Demikian juga untuk menyebut wilayah-wilayah selain Kie Besi, yaitu Kie Tuanane (Moti), Kie Duko (Tidore), dan Kie Gapi (Ternate). Fraassen (1987) menyebut bahwa besi adalah nama alternatif untuk pulau Makeang yang telah digunakan sejak lama sebelum bangsa asing tiba di pulau tersebut. Tidak ada keterangan yang jelas sejak kapan penyebutan besi untuk pulau Makeang.

 

Bila dicermati, cerita mara bose dan Kroniek van het rijk Batjan, secara tidak langsung juga menghubungkan sejarah dinasti Makeang Timur dengan sejarah Dinasti Misol dan Waigeo (Raja Ampat), pulau Banggai (antara Sulawesi dan pulau Sula), Loloda (Halmahera Barat Laut), dan Obi Siwa, Obi Lima di Seram (Lucardie,  G.R.E. 1980).

 

Mara Bose

Selain “Kroniek van het rijk Batjan”, kisah lain mengenai perpindahan adalah kisah “mara bose”. Mara bose atau pindah pulau adalah peristiwa berpindahnya orang-orang Mara (Makeang) ke Kasiruta dengan cara mengayuh (bose) perahu. Kejadian ini biasa disebut dengan gerak pemindahan kerajaan Makeang menuju pulau Bacan. Konon, mara bose dilakukan karena pulau Makeang tidak aman lagi ditempati. Pada waktu itu gunung api Kie Besi sering mengamuk. Selain itu warga kesulitan memenuhi kebutuhan air bersih. Dua kesulitan inilah yang memaksa penduduk Makeang untuk hijrah mencari tempat yang lebih baik dan aman, serta tersedia air bersih.

 

Gerakan mara bose dilakukan  oleh dua kelompok perjalanan. Kelompok pertama trediri dari orang-orang dari wilayah Makeang Barat, terdiri atas Tafasoho, Sablei dan beberapa kampung lainnya. Kelompok ini melakukan perjalanan menuju Talimau sampai ke Ake Boki di pulau Muari. Kemudian melanjutkan perjalanan hingga tiba di Kasiruta, di mana mereka mengalami gangguan dari Cang. Kelompok ini pun memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke pulau Bacan.

 

Meskipun demikian, sebagian dari rombongan orang Makeang Barat ini tidak melanjutkan perjalanan. Merekamemilih untuk bermukim di sekitar Ake Boki karena di sana tersedia air bersih yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup (Ake Boki saat ini di berada di Pualu Moari dan ketiga kampung itu adalah kampung Busua (Talapao), Hatejawa (Sablei) dan kampung Boki Ma Ake/Tafasoho). Tampaknya perjalanan kelompok dari Makelang Barat initelah diintai oleh pasukan Canga dari Tobelo-Galela. Peperangan terjadi di anatara mereka di Tanjung Kamibing (?) di wilayah Kasiruta. 

 

Kelompok kedua adalah rombongan orang-orang dari Makeang Timur yang terdiri dari orang Tahane, Peleri, Ngofakiaha, Ngogagita dan beberapa kampung lainnya. Mereka melakukan perjalanan menuju Halmahera, dengan rute Batula, kemudian ke Dolik dan meneruskan perjalanan hingga ke Gita. Mereka tidak tiba di pulau Kasiruta. Tampaknya, kelompok Makeang Timur ini juga dihalau oleh pasukan Canga dan terjadi peperangan. Akhirnya mereka harus berpindah ke Gita dan memilih mendiami wilayah ini. 

 

Adapun keterangan lain mengatakan bahwa sebagian kelompok Makeang Timur saat itu tidak meninggalkan pulau Makeang karena mencintai pulau leluhurnya. Namun pada akhirnya, ancaman gunung api Kie Besi membuat mereka meninggalkan pulau Makeang dan bersembunyi di suatu pulau. Mereka berharap, saudara-saudara mereka yang telah pergi ke Kasiruta akan kembali mencari dan menemukan mereka.  Tempat pesembunyian itu kini dikenal dengan sebutan pulau Kayoa-berasal dari kata makayoa yang artinya ‘saling mencari.’

 

Dapat dikatakan Kroniek van het rijk Batjan dan “Mara Bose” merupakan propaganda politik untuk membenarkan klaim Kesultanan Bacan I terhadap wilayah teritorial tertentu. Terdapat keraguan atas dugaan bahwa bagian tenggara Makeang telah didiami sejak tahun 1609. Dugaan tersebut tidak sesuai dengan Watuseke (1976) yang menemukan bukti bahasa dengan indikasi bahwa masyarakat Makeang Timur adalah penduduk pertama di pulau tersebut.

 

Selain itu, istilah mara bose juga hanya dikenal oleh orang Makeang Timur. Jika benar  peristiwa ini pernah terjadi di Pulau Mekeang, maka siapa yang menggagas dan melakukan mediasi gerak pindah pulau tersebut. Mengingat  pulau Makeang dihuni oleh kedua ras yang berbeda yaitu, Melanesia untuk Makeang Barat dan Austronesia untuk orang Makeang Timur. Bahkan bila dikatakanbahwa kerajaan Makeang pernah hijrah ke Kasiruta, maka hal ini sangat tidak benar. Karena terbukti bahwa wilayah Kasiruta dihuni oleh masyarakat yang mayoritas berasal dari Tobelo dan Galela. Sementara orang Makeang hanya menempati tiga kampung yaitu Leleojaya, Tawa, Tatuhu/Busua Dua  (Lapian, A. B. 1994).

 

Perpindahan Kerajaan Makeang, Limau Dolik Komalo Besi ke pulau Bacan sangat diragukan. Hasil  penelitian yang dikemukakan oleh Collins (1982) menyatakan bahwa bahasa Melayu-Bacan adalah suatu dialek Melayu yang lebih memiliki kesamaan dengan bahasa Melayu yang ada di Selat Malaka dan di sepanjang pantai utara Borneo dari pada dialek Melayu-Ternate atau Melayu-Halmahera. Temuan ini  menarik, karena tidak hanya menunjukkan luasnya migrasi orang Melayu, melainkan juga menyampaikan ketidaksamaan rumpun bahasa antara Bacan dengan Makeang Timur dan Makeang Barat.

 

Lantas apakah ada hubungan secara historis antara kerajaan Makeang dan kerajaan Kasiruta/Bacan.? Semoga diskusi yang digagas ini bisa dapat titik temu perdebatan selama ini. Selamat berdiskusi.

 

Share:
Komentar

Terkini